81. Ezra - Earth

36 5 0
                                    

Gw hampir gila bikin bab ini 🤯

-----------

Warning : hampir 3k words

----
.
.
.
.
.

Tiga minggu aku minta waktu pada Nadia untuk mengistirahatkan hubungan kami.

Selain karena ingin fokus pada ujian semester ganjil, istirahatnya hubungan kami juga kuharapkan bisa membuatku menemukan titik terang dari kerumitan hatiku sendiri.

Namun, alih-alih bisa 100% fokus belajar, konsentrasiku malah acak-acakan padahal baru seminggu aku 'jomblo' lagi.

Hal itu terjadi karena aku menyadari perubahan sikap Arion di rumah. Bukan hanya aku, tapi Kak Johan, dan juga Mark yang sudah tiga hari ini tinggal di rumah kami karena disuruh Papa pun juga menyadari keganjilan sikap Arion.

Dia jarang mengusiliku lagi. Jarang mengajakku bercanda, jarang mengajakku main basket atau game online, dan sungkan berbicara panjang. Keantusiasannya menurun. Tak ada lagi Arion yang tengil, hiperaktif, dan clingy.

Aku tahu dia berusaha keras menyembunyikan perubahannya yang padahal sangat kentara itu. Ia masih berusaha mengajakku mengobrol hal-hal ringan, mengingatkanku makan, dan masih tersenyum di depan kami semua, walaupun hanya bibirnya saja yang tersenyum sedangkan matanya tidak.

Kak Johan pernah bercerita padaku. "Arion kalo kayak gitu berarti level galaunya lagi tinggi. Biasanya kalau galau level menengah, dia cuman marah dan ngelampiasin ke samsak sambil teriak-teriak kata kasar, lalu malemnya minta ditemenin tidur. Tapi kalo level galaunya tinggi, dia jadi lebih anteng. Kalem. Agak jaga jarak. Ya kayak sekarang ini. Tapi nggak sampai nangis, kok. Dia orangnya nggak pernah nangis. Setahu gue sih gitu, nggak tahu kalo lagi sendirian."

Mengingat ucapan Kak Johan pada dua hari yang lalu itu membuatku merasa bersalah.

"Aneh nggak sih, Mark, kalau gue merasa bersalah?" tanyaku.

Lelaki yang sedang duduk santai sembari memetik gitarnya itu tersenyum kecil. Arah pandangnya masih terfokus pada senar-senar gitar dalam pelukannya.

"Aneh, sih. Tapi masuk akal mengingat itu kamu," jawab Mark.

Saat-saat sore adalah waktu aku merilekskan otakku setelah delapan jam menyerap ilmu di sekolah, dan sebelum berjibaku dengan buku lagi di jam tujuh sampai larut malam nanti.

Hanya di waktu sore saja aku menjadwalkan diriku sendiri untuk beristirahat.

Selama satu minggu ini, aku memprioritaskan waktuku untuk belajar. Pagi hari setelah bangun tidur, kusempatkan membaca buku. Jam istirahat ke perpustakaan setelah jajan sebentar. Lalu malam hari pukul tujuh sampai larut malam, aku akan mengurung diri di kamar untuk deep study.

Aku mencoba berkonsentrasi pada akademikku. Cukup masa laluku saja yang acak-acakan, tidak boleh masa depanku juga.

Tapi di sore hari yang cerah ini, saatnya aku mengalihkan pikiran sejenak dari materi-materi pelajaran, dan berganti mengurusi kehidupanku yang sebenarnya.

"Gue bingung harus ngapain, Mark."

"Apa yang bikin kamu bingung, Ra?" Ia menaruh gitarnya, lalu menyandarkan punggung di sisian gazebo. Pandangannya menghadapku sepenuhnya, seakan siap meladeni percakapan serius denganku.

"Gue bingung sama perasaan gue ke Nadia. I mean, of course she's likeable. Such a girlfriend material. Most importantly, she loves me hard. Siapa yang nggak ngerasa beruntung punya pacar kayak dia?" tanyaku retoris. "Tapi kayak... Uhm... Gue ngerasa jahat sama Arion."

DIVE INTO YOU || (HRJ) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang