"Gue minta maaf."
Di detik itu, aku baru sadar kalau dunia ternyata sudah tua. Buktinya, hal-hal yang tidak masuk akal mulai menjadi nyata satu persatu.
"Maaf untuk apa?"
"Tadi pagi, gue nyuruh orang untuk naruh rokok di loker lo, terus ngelapor ke BK. Gue berniat memfitnah lo, tapi gagal," ujar Arion datar.
Aku membeku di tempat, tidak tahu harus bicara apa. Pikiranku sedang penuh tentang Nadia dan segala spekulasi negatif akan perbuatannya.
Arion minta maaf padaku adalah bentuk keajaiban dunia ke-8. Dulu, saat kami masuk BK, Arion lebih memilih hukuman menulis di sepuluh lembar folio daripada hukuman untuk mengucap sepatah maaf padaku. Itu menunjukkan betapa antinya dia meminta maaf.
Namun, Nadia menjungkirbalikkan idealisme Arion yang setinggi langit itu, entah dengan cara apa.
"Gue cuman mau ngomong itu. Udah, ya. Gue balik duluan."
Arion pergi dari hadapanku dan mulai menuruni tangga. Aku masih membeku di tempat, memikirkan segala kemungkinan gila yang sudah dilakukan Nadia sampai sudah berhasil membuat Arion melakukan hal di luar batas wajarnya.
Aku mengedarkan pandangan ke segala arah, mencoba mencari Nadia yang siapa tahu sedang diam-diam mengawasiku dan Arion tadi. Namun, sosok Nadia tidak terlihat di manapun.
Akhirnya, aku memutuskan untuk mengejar Arion. Langsung saja aku menuruni tangga dengan tergesa.
Dia sudah sampai di lantai bawah, sedang berjalan di lorong kelas yang sepi. Aku segera berlari menghampiri dia. "Arion!"
Dia berhenti berjalan lalu menoleh ke belakang. "Apa?"
"Lo ngelakuin ini karena Nadia, kan?" tanyaku tanpa basa-basi.
Napasnya terhembus lelah. "Lo nyuruh Nadia ngelakuin ini?" tuduh Arion dengan sorot mata tajam.
"Hah?"
"Dari awal, lo nyuruh Nadia deketin gue untuk nyari kelemahan gue, kan?"
"Nggak lah! Gue juga baru tahu Nadia bisa bertindak sejauh ini!"
"B**lsh*t banget lo, sial*n!"
BUGH!!
Arion meninju pipiku kuat-kuat hingga tubuhku hampir limbung. Rasanya sungguh nyeri. Ada secercah rasa asin yang berasal dari dinding mulut, yang kutebak karena ada darah yang keluar dari sana.
"Udah, lah! Lo nggak usah pengecut menggunakan bantuan pihak ke tiga gini. Lo malah bikin semuanya ruwet, tau nggak?! Dengan lo make cara kayak gini, gue malah tambah muak sama lo! Bisa-bisanya lo hidup baik-baik aja seakan semuanya nggak ada yang salah! Lo nggak punya rasa bersalah? Apa lo aslinya emang seb**gs*t ini? Cih! Nggak nyangka gue."
Kemudian, Arion berlalu dari hadapanku dengan langkah cepat. Aku bahkan sempat melihat punggungnya sebelum dia berbelok di ujung lorong sana.
Rasanya seperti ada petir yang menyambar di sore yang cerah ini. Kepalaku terasa pusing dan berisik. Bobot tubuhku seakan semakin berat sehingga lututku tak bisa menopang lagi. Napas pun terasa sangat sesak entah kenapa. Belum lagi perutku juga mulai mual.
Terduduk di lantai lorong kelas, aku diserbu hunjaman kisah masa lalu yang selama ini ingin kumusnahkan mati-matian. Aku ingin lari sejauh-jauhnya, secepat-cepatnya, hingga aku bisa sembunyi dari bayanganku sendiri.
Ini terlalu berat.
Ini sangat membebani karena yang Arion bilang adalah benar.
Harusnya aku tidak hidup normal seakan tak ada yang salah sama sekali. Harusnya aku melakukan sesuatu. Harusnya aku self-harm seperti dulu, sehingga Arion bisa tahu kalau aku juga sama tersiksanya, bahkan lebih tersiksa dari dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIVE INTO YOU || (HRJ) ✓
Aktuelle Literatur(Drama, Romance, Angst) Cinta segi-empat, akankah berakhir bahagia? === ON REVISION PROCESS === (beberapa bab di-unpub selama revisi) . ⚠️ Warning : mention of mental health problem, (slight) physical abuse, a crime case . Ezra selalu ingin menghind...