Di hamparan langit pada pagi hari ini, matahari mengintip malu dari balik awan. Biarpun hanya sedikit sinarnya yang tak terhalang, cahaya dan kehangatannya tetap sanggup menembus jendela transparan ini dan mengenai wajahku.
Sekian lama memandangi barisan rumah dari balik jendela kereta yang seakan berlari menjauh ke belakang lumayan membuatku agak pusing, sehingga kuputuskan untuk mengalihkan fokus dari pemandangan di luar sana. Kuambil earphone dari dalam saku jaket, lalu kusambungkan ujungnya di ponselku, dan kedua ujung lainnya di lubang telingaku.
Setelah membuka Spotify dan memilih salah satu lagu favorit, suara musik yang tersalur lewat earphone mulai mengalun pelan di telingaku, menyusupkan perasaan nyaman ke dalam hatiku yang dipenuhi kegundahan dan keraguan.
Aku menarik napas panjang, lalu mengulas senyum tipis penuh harap. Dalam hati aku terus meyakinkan diri bahwa keputusan yang kuambil bukanlah kekeliruan selanjutnya sehingga kesialan keluargaku tidak berestafet menimpa hidupku.
Iya. Aku sudah melakukan hal yang benar. Tidak apa-apa, Nadia. Tidak apa-apa.
Kubuka galeri ponselku lagi untuk melihat sebuah foto yang dikirim Tante Tania sejak jauh-jauh hari.
Itu adalah foto seorang lelaki seumuranku, sedang tersenyum sambil menyilangkan tangannya di depan dada dengan dua jari yang membentuk huruf V. Namanya Ezra Ghifari Aksaraya, anak kandung dari Tante Tania.
Beliau bilang, Ezra adalah anak yang tertutup. Dulunya dia ceria, penuh semangat, dan optimis, walaupun secara harfiah dia adalah anak yatim sejak balita. Namun, karena beberapa alasan, Ezra mulai agak tertutup dan pendiam sejak menginjak bangku SMP.
Lalu sekitar setahun yang lalu, Tante Tania memutuskan menikah lagi tanpa persetujuan Ezra. Karena terlalu marah dan kecewa pada ibundanya, lelaki itu memutuskan hengkang dari rumah dan pindah ke Jakarta, menetap di rumah milik sang paman, adik dari mendiang ayah kandungnya, tanpa persetujuan Tante Tania dan suami barunya.
Itulah latar belakang Tante Tania mengirimku ke Jakarta. Beliau memintaku untuk menjaga dan mengawasi Ezra karena tidak bisa bertanya kabar anaknya itu pada adik iparnya sendiri. Bisa dibilang, Tante Tania tidak berhubungan baik dengan keluarga mendiang suaminya, sehingga sulit untuk menjalin komunikasi bahkan hanya sekadar menanyakan keadaan Ezra di Jakarta.
Aku menarik napas panjang sambil terus memandangi foto di layar ponselku. Dengan dua jari, aku zoom sedikit foto tersebut di bagian wajah. Kuamati dengan seksama foto itu, dan tanpa sadar ikut tersenyum juga, mengikuti raut yang sedang kulihat.
"Pacarnya ya, Mbak?"
Kutolehkan wajah ke samping. Seorang perempuan berusia 20-an yang duduk di sampingku tengah tersenyum ramah. Kubalas senyumannya sama ramahnya.
"Ummm... Iya," jawabku kikuk.
Tentu saja mustahil aku menyebutkan siapa Ezra sebenarnya dan apa hubunganku dengannya pada orang asing. Jadi, aku mengiyakan saja pertanyaannya agar terdengar wajar.
Dia tersenyum makin simpul. "Di-chat atuh Mbak pacarnya, jangan cuma dilihatin fotonya," ujarnya, lalu terkekeh.
Untuk menghargai, aku juga ikut terkekeh mengikutinya. "Aku mau ngasih surprise ke dia, Mbak, kalau aku dateng ke Jakarta."
"Wah! So sweet, ya? Semoga lancar, ya, surprisenya. Semoga hubungan kalian juga lancar terus."
"Iya, Mbak. Makasih. Semoga Mbak juga dilancarkan segala urusannya."
"Iya. Makasih kembali."
Selesai mengobrol dengan penumpang kereta lain itu, aku kembali melihat ke layar ponselku yang masih menampilkan foto anak dari Tante Tania itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIVE INTO YOU || (HRJ) ✓
Fiction générale(Drama, Romance, Angst) Cinta segi-empat, akankah berakhir bahagia? === ON REVISION PROCESS === (beberapa bab di-unpub selama revisi) . ⚠️ Warning : mention of mental health problem, (slight) physical abuse, a crime case . Ezra selalu ingin menghind...