40. Ezra - Nonsense

39 8 0
                                    

Warning : 💏

-----
.
.
.
.
.

"Gue udah jauh lebih baik. Biarpun Ayah sekarang ada di penjara dan lagi nungguin sidangnya, gue ngerasa... lega. Apa gue durhaka kalo gue ngerasa lega, Ra?"

Itulah jawaban yang diberikan Aluna saat aku menanyakan kabarnya.

Durhaka, katanya.

Tidak sama sekali.

Jika orang yang selama ini jadi mimpi burukku sudah berhenti menyiksa fisik maupun mentalku, tak peduli itu orang tua kandungku atau bukan, aku juga pasti akan merasa lega.

Sekarang ini aku sangat ingin mengucapkan 'selamat' pada Aluna karena ia berhasil lepas dari ketakutan terbesarnya.

Padahal kami pernah sama-sama berjuang di medan perang masing-masing, mencoba saling menguatkan untuk bertahan, berusaha menjadi penghapus air mata bagi satu sama lain, dan berupaya untuk tidak ketergantungan pelarian kami masing-masing, yaitu aku dengan obat penenangku, dan Aluna dengan rokoknya.

Namun, sekarang dia lebih dulu bebas. Sedangkan aku masih belum. Masih sangat jauh dari kata 'bebas'.

Jujur saja, aku iri padanya.

"Lo berhak hidup bahagia, Aluna," ucapku tulus, membuat senyum samar terlukis di bibir tipisnya.

Angin berhembus pelan, membuat semua tanaman yang ada di pekarangan belakang rumah Aluna ini bergoyang, tak terkecuali pohon besar yang tengah menaungi kami dari teriknya sinar mentari.

Di atas bangku taman yang panjang, kami duduk bersisian, menikmati semilir angin dengan cara kami masing-masing.

Dia yang tadinya terus menatap hambar ke depan kini menoleh padaku. Arah pandang kami pun bertemu.

"Gue pengennya bahagia sama lo, Ezra."

Aku langsung mengulum bibirku sendiri saat mendengar ucapannya. Kuputus kontak mata kami karena aku lebih memilih menundukkan kepalaku.

"Luna, gue..." Kutarik napas panjang sebelum melanjutkan ucapanku. "Gue nggak dateng saat itu, saat lo minta gue dateng ke rumah lo. Dan... Itulah jawaban gue."

Lewat lirikan kecil, kulihat Aluna kembali mengarahkan pandangan ke depan, ke arah kolam ikan berukuran cukup besar yang dihuni beberapa ikan koi.

Keheningan terjadi di antara kami, dan itu membuat isi kepalaku dipenuhi spekulasi-spekulasi atas apa yang Aluna rasakan sekarang.

Apa dia sedih dan ingin menangis? Apa dia marah dan ingin memukulku? Apa dia muak dengan keberadaanku di sini dan ingin aku angkat kaki dari rumahnya?

Apa yang sedang dia pikirkan dan rasakan, aku ingin tahu. Jadi aku takkan keliru dalam bersikap lagi.

Iya. Kuakui kedatanganku ke sini adalah kekeliruan.

Adnan dan Reno benar. Mengunjungi rumah mantan adalah ide buruk. Apalagi jika mantan itu masih mengharapkan sesuatu yang sudah diakhiri.

Namun, apa daya? Aku kalah melawan rasa penasaranku sendiri.

Kedatanganku ke sini, selain ingin memastikan keadaan Aluna, juga ingin meminta penjelasan atas ucapannya di telepon waktu itu.

"Apa ini karma gue? Karena gue pernah nolak lo dulu, saat lo minta kita balikan?" tanya Aluna.

Sungguh! Aku sama sekali tak bermaksud memberi karma. Tidak ada kebencian, dendam, atau sakit hati apapun pada Aluna. Semuanya sungguh sudah selesai. Residu patah hatiku sudah bersih. Yang ada hanya keinginan tulus untuk berteman baik, yang sepertinya merupakan keinginan yang sukar terkabul.

DIVE INTO YOU || (HRJ) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang