"Gue sungguh-sungguh menghargai semua kebaikan lo selama ini, Rion. Di masa-masa sulit gue, lo selalu support dan ada di samping gue. Kalau nggak ada lo, nggak tahu nasib gue bakal kayak gimana. Untuk itu, gue mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya ke lo. Tulus dari hati gue yang paling dalam."
Duduk di sebelahku di bangku panjang taman sekolah, Arion terdiam selama mendengar penuturanku. Netranya menatapku lurus, dan arah badannya dihadapkan padaku sepenuhnya walaupun kami duduk bersisian.
"Setelah dipikir-pikir, ternyata ucapan gue saat kita terakhir ngobrol pun agak keterlaluan," sambungku, lalu mengarahkan pandangan ke taman belakang sekolah lagi setelah sempat menoleh ke arah lelaki di sampingku sejenak. "Gue minta maaf untuk yang itu. Dan juga, maaf karena gue masih nggak bisa mewujudkan keinginan lo, walaupun sekarang gue udah single."
"Kenapa?" tanyanya lirih.
Kutarik napas panjang, dan masih tetap mengarahkan pandangan ke kumpulan tanaman di depan sana. "It's hard for me. Terlalu melelahkan, dan sekarang gue udah sangat lelah."
"Kalau lelah, bersandar ke gue aja!"
Aku menoleh ke lelaki di sampingku lagi, dan kudapati ia masih memandangku lurus.
"Tolong! Ngertiin posisi gue!" ucapku penuh permohonan. "Lo yang kayak gini justru bikin gue capek."
"Kalau gitu, jangan lari! Jangan menghindar! Agar lo nggak capek," balasnya lembut. Bahkan satu tanganku pun diraihnya untuk digenggam. "Bersandar ke gue aja! Bergantung ke gue, Nad. Gue cukup kuat untuk jadi sandaran lo, kok. Lo bisa percaya sama gue."
"Kenapa lo nggak ngerti-ngerti, sih?!" Aku mulai memakai nada frustasi, padahal sedari tadi aku berusaha bicara baik-baik padanya.
Berkonsultasi dengan Mark, aku mendapat sedikit pencerahan bahwa cara menolak dengan baik adalah dengan berterima kasih, meminta maaf, dan mengutarakan alasan.
Namun, masih saja tidak mempan.
Padahal aku sungguh ingin mengakhiri semua ini dengan baik-baik. Menyadari bahwa waktuku sekolah di sini hanya hitungan bulan lagi dan akan pulang ke Bandung setelah lulus, aku harus segera menyelesaikan masalahku sebaik mungkin.
Aku tidak ingin ada yang mengganjal pikiranku saat aku sudah pulang nanti. Aku benar-benar ingin menutup lembaran kisahku di Jakarta, tanpa ada apapun yang tertinggal, sehingga aku bisa mulai lembaran hidupku yang baru di Bandung nanti.
Aku benar-benar tak ingin mengawali kisah apapun lagi di Jakarta. Cukup kegagalan dengan Ezra menjadi akhir kisahku di Jakarta. Untuk selanjutnya, aku tidak mau membuka lembaran apapun lagi di kota ini.
"Nad. Gue paham kalo lo baru putus, karena itu lo masih ngerasa sedih. Nggak apa-apa. Gue bersedia nunggu, kok. Atau kalau lo mau, gue bersedia jadi pelarian lo."
Astagaaaa! Ujian kesabaran macam apa lagi iniiii?!!
Aku sudah tidak sanggup lagi menghadapi Arion. Harus dengan cara apa aku mengatasinya? Kenapa dia segigih ini?!
"Lo boleh menggunakan gue sebagai pelarian biar lo bisa ngelupain mantan lo. Sumpah, gue nggak keberatan. Kita jalanin dulu. Dan sembari jalanin, gue akan bantu lo jatuh cinta ke gue. Lo nggak perlu ngelakuin apa-apa. Cukup genggam tangan gue, dan ikuti arus yang gue ciptakan. Dengan begitu, lo nggak akan capek lagi. You just need to stay and see, and I'll do all the effort to make our relationship works."
"Itu nggak sehat, Rion," bantahku.
"Nggak apa-apa," jawabnya cepat, tak mau kalah. "Itu cuman di awal, jadi nggak apa-apa. Kalau selamanya begitu, itu baru nggak sehat. Kita nggak akan selamanya kayak gitu, kok. Karena gue akan bantuin lo jatuh cinta sama gue. Jadi nanti kita sama-sama ngasih effort ke hubungan kita. Dan hubungan kita akan jadi lebih sehat."
KAMU SEDANG MEMBACA
DIVE INTO YOU || (HRJ) ✓
Fiction générale(Drama, Romance, Angst) Cinta segi-empat, akankah berakhir bahagia? === ON REVISION PROCESS === (beberapa bab di-unpub selama revisi) . ⚠️ Warning : mention of mental health problem, (slight) physical abuse, a crime case . Ezra selalu ingin menghind...