EXTRA PART #2 : Mark - Lies

39 5 3
                                    

Pada suatu sore di pertengahan April, aku pernah bertanya pada Ezra, tentang apakah ia menyesal telah melepaskan Nadia.

Jawaban yang ia berikan adalah 'tidak'.

Bukan 'umm.. Tidak', atau 'sepertinya tidak', atau 'sampai sekarang untungnya tidak'. Bukan semua jawaban sarat keraguan itu. Namun, Ezra menutur kata 'tidak' dengan jelas.

"Gue nggak bisa ngeliat Nadia dengan cara yang sama lagi. Of course gue tahu dia nggak salah. Tapi ... gue cuman nggak bisa ngeliat dia kayak dulu lagi."

Dan Arion pun pernah kutanyai pertanyaan serupa beberapa hari setelahnya, tentang apakah ia menyesal telah merebut Nadia dari Ezra, walaupun sebenarnya 'merebut' bukanlah kata yang tepat.

Yang ia jawab adalah, "Nggak sama sekali. Cuman agak ngerasa bersalah sama Ezra, tapi nggak nyesel. Malahan gue kayak beruntung banget, karena Ezra bersedia ngelepasin Nadia, dan Nadia-nya juga mau ngasih kesempatan gue perjuangin dia. Dan akhirnya, setelah berbulan-bulan, Nadia pun suka sama gue juga. Like, dude... How lucky I am! Gue kayak ada di puncak dunia, padahal dulu gue pernah di titik terendah dunia."

Mereka, dua adikku itu, sama-sama menemukan cara untuk berdamai dengan keadaan. Mereka menyelesaikan masalah dengan baik, yang membuat hubungan mereka sebagai saudara tidak mengalami keretakan berarti akibat perkara romansa.

Mereka baik-baik saja dengan cara mereka sendiri. Bahkan, Nadia pun sedang dalam perjalanan meraih kebahagiaannya, bersama Arion.

Tanpa sepengetahuan Arion maupun Ezra, aku beberapa kali berjanji-temu dengan Nadia. Terakhir kami bertemu di sebuah kafe, aku sempat bertanya padanya, apakah ia sudah jatuh cinta pada Arion, mengingat hubungan mereka sudah berjalan berbulan-bulan.

"Nggak tahu. Kayaknya belum. He's such an attractive boy. Tapi gue masih enggan meruntuhkan tembok yang gue bangun di antara kami. Gue bilang ke dia bahwa gue suka dia, hanya untuk meredakan rasa penasarannya. Agar dia nggak ngerasa tertantang lagi. Agar dia ngerasa udah menang, dan puas atas kemenangannya, sehingga dia bisa slow it down. Di momen hubungan kami udah lebih santai, gue pengen menunggu apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Apakah dia akan ninggalin gue karena rasa penasarannya udah terpenuhi, atau akan tetep stay. Gue akan nunggu sampai... uhm... mungkin satu atau dua tahunan."

"Apa kamu yakin tembok kamu nggak bakal runtuh dalam rentang waktu selama itu, Nad?" tanyaku.

"Gue nggak yakin, tapi akan gue usahakan memperkokoh tembok itu. Karena, seperti yang lo tahu, when I love, I'll love hard. Gue takut ngasihin hati gue sama cowok kayak Arion. Dia powerful dan... keras kepala. Dia berbahaya buat gue kalau gue jatuh cinta sama dia. Falling in love really does make someone stupid. Gue waras aja kadang nggak bisa handle dia, apalagi kalo gue udah jatuh cinta. Ugh! It's scary."

Kala itu, aku hanya terkekeh menanggapi penuturannya. Padahal, hati kecilku berbisik lirih.

Daripada kau mempertaruhkan hatimu untuk cinta yang kau takuti, kenapa tak kau percayakan saja hatimu padaku? Tidak perlu takut. Tidak usah ragu. Kali ini aku akan menjaganya dengan baik. Kelakuan jahatku dulu, aku takkan mengulanginya. Aku janji.

Hatiku berbisik, terus menggumamkan permohonan, pengharapan, dan kata-kata manis, yang sayangnya tak bisa kukeluarkan lewat lisan, karena aku adalah pecundang sesungguhnya. A love loser. Dan aku tidak bangga.

Di detik sekarang, pecundang ini malah tidak bisa tidur kendati jarum jam sudah menunjukkan pukul 02:30. Dia sibuk bermain-main dengan pikirannya, menyelam begitu dalam, sampai-sampai dia kehilangan arah atas waktu.

DIVE INTO YOU || (HRJ) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang