12. Ezra - Nightmare

65 12 3
                                    

Warning : lumayan triggering bagi sebagian orang
----
----
.
.
.
.
.

"Coach yang nyuruh lo maju."

"Dibilang gue nggak mau!"

"Ini babak final, Ezra. Sekali main doang. Apa salahnya?"

"Nyuruh yang lain aja!"

"Si Danu lagi sakit. Nggak bisa main. Di sisi lain, lo point guard terbaik yang kita punya. Gue sebagai shooting guard udah klop main sama lo. Assist lo keren, cermat. Maju lah!"

"Nggak!"

Reno menghembuskan napas lelah. Suasana di ruang ganti pemain basket sekolah menjadi sunyi lagi. Adnan dan Carlo yang sedari tadi hanya duduk dan melihat pun tidak tertarik untuk menginterupsi kesunyian.

"Masih keinget Leo?" tebak Reno.

Aku yang sedari tadi sudah memalingkan wajah jadi makin tidak berminat melihat ke arah Reno.

Kupejamkan mata rapat-rapat karena berkelebat kenangan melintas di pikiranku. Semakin lama semakin cepat, membuatku kepalaku pening dan ingin meledak. Perutku pun serasa mual, seperti ingin muntah.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Reno dengan khawatir karena melihatku memijit dahiku sendiri.

"Gue pusing kalo lo ngomongin Leo."

"Dia udah bahagia di alam lain, Ra."

Aku juga ingin bahagia, Ren. Apa aku harus pindah alam dulu seperti Leo agar bisa bahagia?

"Gue nggak mau ikut pertandingan apa-apa lagi, Ren. Tolong ngertiin!" mohonku.

"Dengerin gue!" Reno memegang kedua pundakku. Matanya menatapku lurus. "Tiga kabar buruk yang lo denger setelah ikut pertandingan tuh cuman kebetulan terjadi di hari itu. Bukan berarti lo akan dapet kabar buruk setiap ikut pertandingan. Nggak ada sangkut pautnya, Ezra."

Aku menahan napas. Sungguh, aku sangat ingin mempercayai ucapan Reno. Namun, aku tetap saja takut.

Aku tidak ingin mendengar kabar buruk lagi. Karena, bagaimana bisa semua itu hanya kebetulan? Tiga kali aku ikut turnamen, dan setelah ikut turnamen-turnamen itu, aku selalu dikejutkan dengan kabar buruk.

Kebetulan yang mengerikan.

Aku keluar dari klub setelah kematian Leo. Bukan karena trauma bermain basket, tapi karena ingin menghindari kejadian seperti ini.

Aku tidak ingin disuruh ikut pertandingan lagi. Tidak mau. Aku benar-benar belum siap mendengar kabar buruk selanjutnya.

"Dua kematian dan satu hampir mati, Ren," ucapku getir sambil menatap Reno lurus. "Dan tiga kabar buruk itu gue dengernya hanya berselang satu sampai tiga hari setelah gue ikut turnamen basket."

"Nggak ada hubungannya sama turnamen, Ra. Itu cuman kebetulan," ucap Reno lembut.

"Udah! Jangan dipaksa, Ren," ucap Adnan, membuat Reno akhirnya menurunkan kedua tangannya dari pundakku. "Kita harus ngertiin posisi Ezra."

"Nggak apa-apa, Ren. Kalah pun nggak masalah. Masih dapet juara dua, kan? Juara dua se-Jakarta tuh udah bagus," tambah Carlo. "Ntar kita omongin ini ke coach bareng-bareng."

Tiba-tiba, pintu ruang ganti dijeblak terbuka. Sosok Arion langsung mencuri perhatian kami berempat.

"Lo harus ikut! Gue nggak mau tau!" titah Arion tiba-tiba, yang membuatku memutar bola mata malas.

"Gue bukan anggota klub basket lagi," jawabku tenang.

"Nama lo nggak pernah dicoret. Lo masih jadi anggota."

DIVE INTO YOU || (HRJ) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang