Nadia baru saja pergi dari kantin, meninggalkan aku dan Aluna duduk berdua di meja ini.
"Rachel nggak ngechat Nadia," kata Aluna, yang membuatku langsung menoleh.
"Hah?"
"Nadia pergi bukan karena dichat Rachel. Gue ngintip HP-nya tadi. Kayaknya dia sengaja pengen ninggalin kita berdua di sini," jelas Aluna.
"Kenapa Nadia pengen ninggalin kita berdua di sini?"
"Nggak tahu. Feeling gue sih, Nadia mikir kalo lo masih ada rasa ke gue. Jadi dia ngalah."
"Kenapa dia bisa mikir kayak gi-. Aah!" Ucapanku terpotong karena aku ingat sesuatu.
Waktu itu, dia sempat bertanya apakah aku masih suka Aluna. Justru aku malah memberinya jawaban yang tidak jelas dan berbalik tanya.
Andaikan gue bilang masih suka, apa yang akan lo lakuin?
Tebakan Aluna jadi terdengar masuk akal, karena andaikan aku di posisi Nadia, aku juga akan salah paham.
Sekarang, aku agak merasa bersalah pada Nadia. Apa aku jahat padanya? Apa aku egois kalau ingin sendiri dulu?
"Dia liat kita ngobrol di UKS."
Lagi-lagi, ucapan Aluna membuatku refleks menoleh ke arahnya. "Lo tahu dari mana?"
"Anak PMR yang piket di UKS yang bilang. Waktu itu gue ngerasa nggak wajar aja Nadia nggak jenguk lo. Jadi gue nanya anak PMR yang jaga di depan, apa ada yang sempet mau jenguk tapi balik lagi. Dan ternyata ada, yaitu seorang cewek yang di nametag-nya tertulis nama Nadia."
Mendengar penuturan Aluna, aku jadi tambah merasa bersalah karena sudah menyakiti hati seseorang.
"Aluna."
"Ya?"
"Menurut lo, gue egois nggak?"
Aluna diam selama beberapa detik sebelum menjawab, "Apa dia nembak lo, terus lo nolak?"
"Bukan gitu."
"Lalu?"
"Gue ngelarang dia suka sama gue."
"Kok ngelarang dia?"
"Gue nggak mau pacaran dulu. I'm afraid of love."
Aluna tersenyum getir. "Maafin gue ya, Ezra. Gue emang jahat banget dulu."
"Nggak, kok. Lo nggak jahat." Aku menggeser mangkuk baso dari hadapanku, lalu menyilakan tangan untuk dijadikan bantalan kepala. Entah mengapa kepalaku terasa lebih berat. "Sangat masuk akal lo memilih pergi," ucapku lirih.
"Ezra. Gue udah bilang, lo nggak seburuk itu. Lo orang baik."
Aku memejamkan mata selama tiga detik, lalu membuka mata lagi. Kepalaku masih berada di atas tangan yang bersila di atas meja. "Tapi gimana kalo Nadia nggak berpikir begitu? Dia bisa aja ninggalin gue saat gue udah nyaman sama dia. Itulah alesan gue nggak mau pacaran dulu, entah sama dia atau sama siapapun. Gue belum siap kehilangan lagi."
Sebenarnya aku tak mau sejujur ini. Namun, aku benar-benar butuh mengurai benang kusut di pikiran. Aluna lah yang paling tahu tentang aku, Nadia, dan apa yang terjadi belakangan ini.
"Gue kan juga udah bilang, Ezra, kalau Nadia akan berpikir kayak gue sekarang. She'll trust you. Kalaupun nanti dia nggak percaya ke lo, gue akan ngeyakinin dia untuk percaya ke lo."
Alisku mengernyit. "Lo kenapa mendukung dia banget? Kalian kan belum lama kenal."
"I just...really admire her sincerity," ujarnya sambil tersenyum padaku. "Dia mencegah lo dapet masalah, melawan Arion, dan mengalah ke gue demi lo. Dan semua itu dia lakukan secara sembunyi-sembunyi. Tulus banget, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
DIVE INTO YOU || (HRJ) ✓
General Fiction(Drama, Romance, Angst) Cinta segi-empat, akankah berakhir bahagia? === ON REVISION PROCESS === (beberapa bab di-unpub selama revisi) . ⚠️ Warning : mention of mental health problem, (slight) physical abuse, a crime case . Ezra selalu ingin menghind...