Jadi begini ya rasanya menyukai lelaki yang menyukai perempuan lain?
Sedih. Sesak. Kesal. Kecewa. Ingin marah. Tapi tak tahu pada siapa.
Mana mungkin aku marah pada Ezra! Sedari awal, dia memang selalu berniat menjaga jarak dariku. Dia tidak pernah berbalik menyukaiku. Kalaupun ada saat di mana kita berbahagia bersama, itu karena Ezra sedang membutuhkan seorang teman di sampingnya, bukan karena dia menganggapku perempuan spesial.
Di hatinya cuma ada Aluna. Sedari awal, hanya ada gadis manis itu.
Empat hari yang lalu, saat kami bertemu pagi-pagi ketika berjalan menuju kelas, aku melihat cara Ezra memandang Aluna dari kejauhan yang menyiratkan keputusasaan dan pengharapan yang besar. Terang-terangan menolak, dia melarangku suka padanya tak lama setelah dia memandangi gadis itu.
Kemudian, saat Ezra sakit dan harus istirahat di UKS, dia hanya butuh Aluna di sisinya.
Hanya dia, bukan aku.
Jadi, di menit aku melihat mereka mengobrol berdua di UKS, aku memutuskan untuk mundur. Makanan yang tadinya ingin kuberikan pada Ezra tak pernah sampai ke tujuan. Kepercayaan diriku lenyap. Hanya tersisa kesadaran yang agak terlambat, bahwa aku seharusnya tahu batasanku.
Siapa aku? Tentu saja bukanlah peran utama dalam ceritanya. Aku hanya orang suruhan ibundanya yang ditugasi untuk menjaganya, tidak lebih. Itulah batasan yang harusnya selalu kuingat.
Huft...
Apa benar-benar semustahil itu, ya? Tidak adakah celah yang bisa kuusahakan untuk membuat semua ini jadi mungkin? Apa benar-benar tidak ada ruang tersisa untukku di hatinya?
Ezra, aku tahu ini salah, tapi aku suka padamu. Sangat suka. Jadi, aku harus bagaimana?
Tolong katakan padaku, apa yang harus kulakukan?
"Nad. Berhenti ngeliatin gue!"
Maaf. Aku hanya ingin memelukmu dengan pandanganku jika tak bisa memelukmu dengan tanganku. "Lo nggak nyaman, ya? Sorry," ujarku sambil memaksakan senyum tipis.
Dia kembali menyuap kuah baso ke mulutnya dengan sendok. "Nggak gitu. Gue sih nggak masalah, tapi orang lain yang ngeliat bisa salah paham."
"Oke." Aku pun juga melanjutkan kegiatan makan mie rebusku yang sudah agak mengembang, padahal masih banyak.
Sudah empat hari berlalu sejak Ezra sakit dan harus istirahat di UKS. Sekarang kulihat ia sudah sehat seperti sedia kala. Aku senang melihatnya sehat-sehat begini.
Selama jeda waktu itu, kami tidak mengobrol banyak. Ah! Sepertinya memang tidak mengobrol sama sekali. Aku sibuk memperbaiki hati yang sempat retak. Sementara dia, uhm... tetap menjalani kehidupannya yang normal sembari memulihkan kesehatan fisiknya.
"Lo katanya mau ngomong sesuatu ke gue, Ra," ingatku. "Sampe ngajakin ngantin bareng segala."
Dia melirikku, kemudian meminum es jeruknya. "Bukan sesuatu yang penting, sih. Cuman... pengen memastikan sesuatu aja."
"Memastikan apa?"
"Memastikan kalo lo nggak membenci gue."
"Hah? Kenapa juga gue harus benci lo?"
"Entah. Mungkin karena... gue nggak sengaja udah nyakitin lo atau semacamnya," ujarnya agak ragu.
Aku berhenti mengunyah. Mataku semakin fokus memandangnya, mencoba menerka apa yang sedang ia pikirkan. "Kenapa lo mikir gitu?"
"Ya... In case aja," ujarnya tanpa melihat ke arahku. "Setelah dipikir-pikir, ucapan gue waktu itu lumayan sensitif."
"Ucapan yang mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
DIVE INTO YOU || (HRJ) ✓
General Fiction(Drama, Romance, Angst) Cinta segi-empat, akankah berakhir bahagia? === ON REVISION PROCESS === (beberapa bab di-unpub selama revisi) . ⚠️ Warning : mention of mental health problem, (slight) physical abuse, a crime case . Ezra selalu ingin menghind...