Yang dikatakan Aluna memang benar.
Aku overthinking sekaligus insecure, dan itu bukan sesuatu yang membanggakan.
Untuk menjawab segala pertanyaan yang berhari-hari bergelayut dalam kepalaku, caranya sederhana saja, yaitu dengan bertanya. Namun, alih-alih bertanya, yang kulakukan adalah memikirkan semuanya sehingga imajinasiku jadi liar.
Maksudku, yang benar saja?! Ada yang tidak beres dari otakku, hingga bisa-bisanya berpikiran bahwa Nadia mungkin saja terkena pelet nyasar atau sejenisnya.
Memang nyeleneh, tapi alasan itu jadi masuk akal mengingat selama ini dia selalu ingin tahu tentangku dan bertindak sejauh ini demi aku.
Oke. Sepertinya aku harus berhenti overthinking sampai di sini, sebelum aku menerka-nerka yang makin absurd lagi.
Pak Guru yang sedari tadi mengoceh di depan kelas akhirnya berhenti bicara. Beliau keluar kelas sebentar setelah memberi soal latihan Matematika pada kami semua.
Cepat-cepat, aku mengerjakan semua soal itu asal-asalan. Lalu, aku langsung berjalan menuju bangku belakang.
"Rita. Tukeran tempat duduk bentar, dong! Lo kerjainnya di bangku gue, gih!" tawarku pada Rita yang posisi bangkunya ada di depan bangku Nadia.
"Kenapa? Kok gitu?"
"Udah! Pindah aja! Bawa buku lo juga!"
Karena Rita masih terheran-heran di tempat, aku langsung saja merampas buku dan alat tulis Rita untuk dipindah ke bangkuku. Rita sempat kaget, tapi akhirnya menurut saja karena tidak punya pilihan lain selain pindah ke bangkuku.
Begitu Rita sudah pindah, aku langsung duduk di kursinya dengan posisi terbalik agar bisa menghadap Nadia.
"Kenapa?" tanya Nadia bingung.
"Gue pengen di sini sebentar. Nggak apa-apa, kan?"
Raut wajahnya terlihat tambah bingung. "Iya. Nggak apa-apa." Lalu Nadia lanjut mengerjakan soal latihannya lagi.
Niat awal aku pindah ke sini adalah ingin bertanya banyak hal pada Nadia. Namun, saat sudah duduk di depannya begini, aku mendadak tidak ingin menanyakan apa-apa.
Tidak masuk akal! Bagaimana bisa perempuan incaran seantero sekolah ini suka padaku? Apa yang ia lihat dariku?
Dalam diam, aku terus memandangi setiap inchi wajahnya.
Mata, hidung, bibir, pipi, bahkan sampai tahi lalat kecil di samping hidungnya pun aku perhatikan dengan seksama.
Indah.
Indah sekali, tak paham lagi.
Aku sering menemukan perempuan yang cantiknya tidak pakai rem, tapi tidak ada yang seperti Nadia. Rata-rata perempuan cantik di level itu setidaknya punya satu kekurangan mencolok, misalnya kecentilan, sok penting, manja, berisik, begajulan, toksik, pemalas, lemot, atau player.
Tapi Nadia tidak begitu. Sejauh ini, kekurangannya di mataku cuma 'aneh' saja, karena kelakuannya sering di luar prediksiku. Itu pun sebenarnya tidak terlalu fatal selama komunikasi di antara kami diperbaiki.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIVE INTO YOU || (HRJ) ✓
General Fiction(Drama, Romance, Angst) Cinta segi-empat, akankah berakhir bahagia? === ON REVISION PROCESS === (beberapa bab di-unpub selama revisi) . ⚠️ Warning : mention of mental health problem, (slight) physical abuse, a crime case . Ezra selalu ingin menghind...