Sejak menginjakkan kaki di Jakarta awal Januari lalu, aku semakin membulatkan tekad untuk memulai lembaran baru di kota ini.
Benteng pertahanan langsung kubangun tinggi-tinggi, tak membiarkan apapun yang berasal dari masa lalu menyerangku, terutama emosi negatif dan ingatan-ingatan tak menyenangkan di Surabaya.
Biarpun bentengku sudah kubangun tinggi-tinggi, gempuran kenyataan kadang berhasil mendobrak pertahananku. Apalagi aku malah kebetulan pindah di sekolah yang salah satu siswanya adalah Arion, seseorang yang menjadi bagian dari cerita suramku di Surabaya. Serangan itu semakin hari jadi semakin sulit kuatasi.
Untungnya, aku menemukan Aluna.
Dia mampu membantuku bertahan sampai sejauh ini. Berkat berlindung di balik gubuk kecilnya, aku bisa kabur dan selamat dari amukan monster yang mengobrak-abrik benteng yang susah payah kubangun itu.
Aluna punya segala yang kubutuhkan. Obat pereda rasa sakit, teh hangat, sofa empuk, selimut kering, dan segala hal yang membuatku kerasan di sisinya.
Sejak bersamanya, aku kerap lupa akan eksistensi monster yang hidup dalam kepalaku selama ini. Aku terlalu nyaman berada di sisinya, sehingga aku abai terhadap urgensi untuk membangun ulang benteng pribadiku dan urgensi menghadapi monster sial*n itu dengan pedangku sendiri.
Sayangnya, hari yang paling tak kuinginkan malah terjadi.
Aluna menendangku dari sisinya setelah dia tahu sekacau apa diriku ini.
Diusirnya aku dari kediaman Aluna membuatku langsung kewalahan untuk mencari tempat berteduh dari rinai kesedihan.
Aku sangat ketakutan. Bagaimana kalau monster itu tiba-tiba datang untuk mengobrak-abrik kewarasanku lagi? Apa yang harus kulakukan jika hal itu terjadi saat aku masih belum siap?
Aku tidak mau bertindak bodoh lagi. Sudah cukup di Surabaya saja aku pernah menghias lengan dan tungkaiku dengan beraneka ragam luka sayat, tidak mau di Jakarta juga. Apa guna ragaku pindah ke Jakarta jika jiwaku masih serupa di Surabaya?
Aluna ada di depanku sekarang, dengan tangan yang terlipat di depan dada dan pandangan mata terarah ke objek selain diriku.
Dia terlihat sama, tapi begitu berbeda. Dan itu membuatku merasa senang sekaligus sedih.
"Lo mau ngomong apa?" tanyanya, masih sambil memalingkan wajah.
Aku juga tak yakin apa alasanku mengajaknya bicara di atap gedung sekolah saat berpapasan dengannya di lorong kelas tadi. Aku hanya menuruti suara hati yang berkeinginan melihatnya dari jarak dekat lagi dan mendengar suaranya yang dulu tak pernah gagal membuatku merasa nyaman.
Intinya, aku sedang merindukannya.
"Nggak ada yang mau lo omongin? Kalo gitu, gue pergi sekarang."
Aluna berbalik badan, sudah bersiap untuk meninggalkanku di tempat kosong ini. Namun, aku berhasil menahan pergelangan tangannya sehingga dia tetap di tempat.
"Bentar! Jangan pergi dulu!"
Perempuan itu menarik tangannya untuk membuat ikatanku terlepas. Setelah itu, dia mau berbalik badan untuk menghadapku lagi. "Jangan buang-buang waktu! Kalo beneran ada yang pengen lo omongin, maka cepetan ngomong!" ujarnya agak kesal.
Perasaan ambivalen itu datang lagi.
Sekarang, aku ada di antara berharap dia kembali padaku untuk membantuku menghadapi kenyataan, dan berharap dia pergi jika itu bisa membuatnya tidak terluka karena kenyataanku.
Aku paham bahwa setiap orang punya batas tersendiri atas kekacauan yang bisa ia toleransi, dan sepertinya level kekacauanku melampaui batas toleransi Aluna.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIVE INTO YOU || (HRJ) ✓
Ficción General(Drama, Romance, Angst) Cinta segi-empat, akankah berakhir bahagia? === ON REVISION PROCESS === (beberapa bab di-unpub selama revisi) . ⚠️ Warning : mention of mental health problem, (slight) physical abuse, a crime case . Ezra selalu ingin menghind...