Aku terlalu terbiasa dengan semua perhatian dan pujian.
Di mana pun aku berada, orang-orang menyambutku dengan hangat. Segala atensi yang kudapat secara berlebih membuatku berpikir bahwa aku adalah peran utama di panggung kehidupan, dan dunia berputar mengelilingiku.
Apapun yang kuinginkan selalu kudapat. Berkat statusku sebagai anak tunggal, kedua orang tuaku memberiku apapun yang kuminta. Berkat beauty privilege yang kubawa sejak lahir, dunia selalu memudahkanku mendapat apapun yang kuincar.
Aku tidak pernah kesusahan mendapat teman. Saat masih sekolah di Bandung, hampir satu sekolah mengenaliku. Setiap aku berjalan di lorong sekolah, murid-murid yang berpapasan bergantian menyapaku, entah yang kukenal maupun yang tidak kukenal. Kadang para guru menyapaku lebih dulu. Bahkan satpam, petugas kebersihan, maupun pedagang di kantin pun juga mengenalku.
Aku ingat dulu sering sekali aku menerima pengakuan perasaan dari teman lelaki di sekolah. Tak jarang juga mereka menaruh cokelat maupun surat cinta di lokerku. Rasanya tentu menyenangkan. Siapa pula yang tidak senang jika disukai banyak orang? Namun, aku pernah ada di titik lelah karena diincar banyak lelaki. Jadi, waktu itu, tiga bulan setelah aku masuk SMA, aku memutuskan untuk menerima ajakan berpacaran dari salah satu kakak kelasku, hanya agar atensi yang kudapat jadi berkurang.
Selama ini tidak ada orang yang terang-terangan menghindariku. Tidak ada.
Kecuali Ezra.
Entah apa yang ada di pikiran orang itu, sehingga kemarin dia tak mengacuhkanku seharian penuh, padahal kemarin bukanlah pertemuan pertama kami.
Dia bersikap seolah-olah pertemuan kami di lapangan bola tak pernah terjadi. Saat teman-teman sekelas lainnya (dan beberapa murid dari kelas lain) berbondong-bondong ingin berkenalan denganku, dia malah sengaja menjaga jarak, bahkan menghindari kontak mata.
Padahal akan jadi wajar kalau dia sekadar bertanya "Hei, lo yang kemarin itu, ya?", atau berbasa-basi seperti, "Gue nggak nyangka lo jadi murid baru di kelas gue. Semoga betah sekolah di sini." atau semacamnya.
Tapi Ezra tidak begitu. Dia benar-benar menganggapku invisible sepanjang hari.
Huft! Kupikir pekerjaanku semudah membalikkan telapak tangan. Namun, sepertinya aku harus sedikit berusaha.
Hari ini, aku yang akan lebih dulu mengajaknya mengobrol.
Berniat mencari angin segar di pagi hari untuk meningkatkan mood-ku, aku berjalan ke dekat jendela kelas, lalu membuka benda itu. Angin pagi pun langsung membelai kulit dan rambut panjangku dengan pelan.
Cukup lama aku berdiri di dekat jendela sampai beberapa siswa sudah mulai berdatangan. Aku tidak terlalu mempedulikan kehadiran mereka, karena aku hanya sedang menunggu satu orang.
Karena kelasku berada di lantai dua, aku jadi bisa melihat murid-murid yang berlalu-lalang di lapangan bawah sana. Kemudian, kulihat satu sosok yang sedari tadi kutunggu sedang berjalan di tengah lapangan dengan tas punggung hitam menggantung di satu pundaknya.
Ezra. Tambang emasku.
Tak lama kemudian, Ezra menyadari sosokku yang sedang melongok dari jendela kelas kami. Langkahnya berhenti sejenak saat aku melambaikan tangan dengan semangat ke arahnya sambil tersenyum lebar. Bukannya balas tersenyum padaku, dia malah memberiku pandangan heran.
Dia mungkin berpikir aku sok akrab dengannya. Masa bodoh lah!
"Pagi, Ezra," sapaku saat dia sudah masuk ke kelas dan duduk di bangkunya.
Dia tersenyum kikuk. "Pagi juga, Nadin."
"Nadia."
"Iya. Maksud gue Nadia."
KAMU SEDANG MEMBACA
DIVE INTO YOU || (HRJ) ✓
Ficción General(Drama, Romance, Angst) Cinta segi-empat, akankah berakhir bahagia? === ON REVISION PROCESS === (beberapa bab di-unpub selama revisi) . ⚠️ Warning : mention of mental health problem, (slight) physical abuse, a crime case . Ezra selalu ingin menghind...