32. Ezra - Overtime

60 10 7
                                    

Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 20:25 malam, yang artinya sudah lewat 25 menit setelah jam tutup kafe, tapi aku masih ada di tempat. Begitupun Mark yang sedang duduk di sampingku dan Bang Arya yang sedang beres-beres dapur.

Iya. Hari ini aku terpaksa lembur setengah jam (atau mungkin lebih) karena ada rombongan pengunjung yang sampai sekarang belum pulang juga. Entah kapan sepuluh orang bapak-bapak berdasi dan berjas rapi itu akan pulang. Sepertinya masih betah mengobrol ngalor-ngidul sambil sesekali terbahak nyaring, padahal aku sudah lelah dan ingin pulang.

Di balik meja kasir ini, Mark sibuk menatap layar ponselnya, terlihat sedang baca ebook.

"Baca apa, Mark? Novel?" tanyaku.

Mark menoleh padaku sebentar, lalu lanjut memandang ke ponselnya lagi. "Bukan. Lagi belajar. Aku mau ikut SBMPTN tahun depan, Ra. "

Aku mengangguk paham. "Ooh. Ngincer kampus mana, Mark?"

"Apa aja aku mah, nggak pilih-pilih. Yang penting big-3."

Nggak pilih-pilih, katanya. Tapi maunya big-3. Itu kan namanya pilih-pilih. "Gue doain lo lolos, deh." Sengaja aku tidak bertanya lebih banyak agar tidak mengganggu Mark yang sedang belajar.

Ponsel Mark berdering pertanda ada panggilan masuk. Tak sengaja aku membaca nama peneleponnya. Sunadi.

"Yo! What's up, man?"

Karena tidak ada pilihan lain, aku malah menguping Mark mengobrol dengan penelepon itu.

"Yoi. Biasa lah. Nasib jadi keset kapitalis. Nggak tahu. Aku juga pengennya pulang, tapi kan mau gimana lagi. Mana bisa begitu, Nad!" Mark melirikku sebentar, lalu mengalihkan pandangan lagi. "Sunadi, gimana sih?!"

Jujur, aku agak tak nyaman menguping obrolan Mark begini. Jadi aku mencoba mengalihkan fokus dengan merapikan letak barang-barang di atas meja kasir, yang padahal sudah cukup rapi.

"Sip, sip. Ntar aku pikirin caranya." Mark memutus sambungan teleponnya. "Kamu sendiri pengennya masuk kampus mana, Ra?" tanya Mark padaku. Matanya menatap ke layar ponsel untuk lanjut membaca ebook-nya lagi.

"Umm.. Kemana, ya? Ke mana aja sih, yang penting beasiswa." jawabku enteng.

Tak kusangka, jawabanku membuat Mark langsung menoleh dengan mata membola. Dia sudah membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi menutup mulut lagi karena tidak jadi bicara. Pandangannya beralih ke layar ponselnya lagi.

"Kenapa, Mark?"

"Nggak apa-apa. It's just... You know." Lagi-lagi, Mark terlihat ragu.

"'It's just' apa?"

"Yaaa... I mean, like, you should work really hard for it. Karena itu kan susah banget. Bukannya mustahil, but it's gonna be hard, right? Tapi aku nggak pengen bikin kamu pesimis, sih. Tapi emang susah, sih. Tapi nggak ada yang mustahil. Like, you know, semua kesusahan nggak ada yang mustahil kalo berusaha, kan? Like, you should really work hard for it, walaupun itu susah."

"Hm. Oke," responku simple atas penjabaran Mark yang belibet tadi.

"Harusnya kamu nggak usah kerja part-time gini dan fokus belajar aja. Fokus belajar dan nggak usah ke-distract kegiatan-kegiatan di luar akademis yang menyita waktu, tenaga, dan pikiran," ujar Mark. "Kalau aku, sih, emang terlalu suntuk belajar, jadi ngambil kerja part time biar nggak bosen. Kalo kamu kan masih harus sekolah. Apa kamu nggak capek, Ra?"

"Uhm... Lumayan capek, sih. Tapi nilai akademik gue nggak terganggu, kok. Sejauh ini masih stabil."

"Hmmm... Berarti lo pinter, ya?"

DIVE INTO YOU || (HRJ) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang