Widowers

860 108 29
                                    

Langit mendung masih menggantung di atas Hogwarts yang sebagian besar bangunannya runtuh. Bau asap dan debu bertebaran di udara. Bergabung bersama bau darah dan air mata.

Dua jam sudah terlewat. Pertempuran besar sudah selesai. Tongkat kayu dan kutukan sudah diturunkan. Hanya tinggal sisa-sisa pertempuran yang berserakan.

Semua orang sibuk bahu-membahu memindahkan mayat-mayat.Tubuh dingin itu kini disusun di lapangan. Tidak perlu dikatakan bagaimana kondisinya. Sudah cukup kesedihan bagi mereka yang melihatnya.

Lucius Malfoy diutus Voldemort untuk pergi ke kementerian mengurus beberapa hal terutama mengumumkan keputusan damai ini. Dia ingin menegaskan kalau Harry Potter tidak lagi jadi masalahnya. Tapi bukan berarti orang lain boleh membunuhnya. Lalu mengenai ingatan Neville, mereka akan memprosesnya pelan-pelan.

Harry Potter masih terduduk diam menatap Severus yang terbaring kaku. Dia tidak bisa berpikir sekarang. Dalam kepalanya masih teringat saat cahaya hijau menyala terang menghantam tubuh Severus. Masih jelas saat Severus menariknya mundur untuk membalik tubuhnya agar dia terlindungi.

"Bodoh, kenapa kau melakukan itu?"

Dia tidak benar-benar mengatakannya dengan nada bertanya. Dia hanya ingin melampiaskan kemarahannya. Dia ingin Severus bangun dan memeluknya lagi.

"Kita baru saja bertemu kembali. Kenapa kau lakukan ini padaku?"

Air matanya sudah kering. Tidak bisa lagi menangis. Matanya menatap Severus dengan redup seperti jiwanya ikut hilang bersama.

Setelah kekacauan dihentikan oleh McGonagal, Madam Pomfrey yang entah sejak kapan ada di sana segera mendekat. Dia tahu kalau itu sia-sia. Kutukan kematian tidak ada penyembuhnya. Namun dia berharap Madam Pomfrey bisa melakukan sesuatu. Healer itu mengayunkan tongkat dan membaca beberapa mantra. Pada akhirnya hanya bisa mengkonfirmasi kematian potion master itu. Harry tidak ingin mendengarnya. Jadi dia berteriak marah seperti anak kecil yang tidak ingin mendengarkan orang tua.

Voldemort tidak kalah kacau. Dia menyuruh death eaternya untuk mencari pelakunya dengan mengecek histori tongkat sihir dengan Prior Incantanto. Namun dalam peperangan sebelumnya banyak yang menggunakan kutukan kematian. Pada akhirnya tidak dapat diketahui siapa pelakunya.

Harry masih duduk menatap kosong. Dia tidak peduli ribut-ribut di belakangnya. Dia hanya ingin pergi dari sini membawa Severus bersamanya. Tapi dia tidak tahu harus pergi ke mana. Rumah Paman Vernon sudah habis dibakar Death Eater. Grimauld Place? Ah itu bukan tempat yang baik untuk Severus. Dia dan Sirius bermusuhan. Severus tidak akan menyukainya.

Seseorang berjongkok di sampingnya. Harry masih tidak menoleh walau sudah tahu ada orang di sebelahnya. Dia mendengar orang itu menarik napas lelah. Lalu tepukan di bahu.

"Aku tidak tahu harus bagaimana menghiburmu Harry. Bahkan seorang prankster kehabisan kata-kata di tempat gloomy seperti ini."

"Tidak perlu menghibur. Kau juga kehilangan."

Fred hanya tersenyum tipis. Benar sekali keluarga mereka kehilangan dua anggotanya. Ayah mati dengan terhormat. Berjuang untuk melindungi orang lain. Sedangkan adik perempuannya. Yah dia sangat bodoh. Dia tidak tahu kenapa ingin menemani Harry. Mungkin karena Harry sendirian sejak tadi. Menatap kosong seperti menatap pusara kekasihnya.

"Professor Snape orang yang baik. Jika bukan karena dia, setiap kali eksperimenku dan George gagal, dia selalu tahu cara membalikkannya. Dia jenius."

Harry bergumam sebagai jawaban. Severus memang jenius. Lebih jenius dari Hermione. Mungkin Harry bias karena Severus kekasihnya. Tapi dia yakin itu.

Dungeon BatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang