The Vision

1.8K 213 9
                                    

"Rumah bibimu sudah dibumihanguskan Harry."

Remaja berkacamata bulat itu menatap nanar pria tua di hadapannya. Semua murid-murid Hogwarts dipulangkan dengan tergesa. Para orangtua tak kuasa menahan diri untuk membiarkan anak-anak mereka naik Hogwarts Express. Banyak yang datang ke Hogsmead untuk menjemput anak-anaknya baik lewat portkey maupun jalan floo. Sementara para auror dari kementrian berlalu lalang di sana mencoba mengawasi semua orang dan menyelamatkan jika tiba-tiba keadaan genting muncul. Hiruk pikuk semakin terasa. Tapi Harry hanya sendiri di sana, sampai sebuah tangan menariknya.

"Ayo Harry."

Pemuda berambut oranye hampir ke merah menariknya. Satu tangan sudah menarik koper besar. Tangan Harry pun sama penuhnya dengan pemuda itu. Burung hantu kesayangannya sudah dia biarkan terbang lebih dulu ke tempat tujuan, The Burrow.

............................................................................................................................................

Menginap semalam di rumah keluarga Weasley tidaklah terasa sama seperti bertahun-tahun sebelumnya. Tak ada suara hantu gentayangan di loteng. Tak ada bunyi berisik jam yang tidak menunjukan waktu. Mungkin Harry saja yang tidak mendengarnya. Pikirannya sudah terlalu sibuk dengan bayangan-bayangan akan rasa bersalah.

"Rumahmu sudah habis, tak ada yang selamat"

Suara Mad-eye malam itu masih terdengar. Pikirnya dia akan senang setelah mimpi buruk sedari kecil menghilang. Nyatanya tidak. Perasaan bersalah menghantui. Mereka, keluarga Dursley memang kejam, tak bermoral. Tapi bukankah berlebihan jika takdir mereka seperti ini. Mati di tangan penyihir, hal yang paling mereka benci karena ketidaknormalannya. Apa ini termasuk ke dalam jajaran dosanya juga?

Seorang petugas kementrian datang pagi-pagi sekali. Dia memperkenalkan diri sebagai Rufus Scrimgeor. Tangannya membawa sebuah peti kecil berukuran panjang sepanjang buku makhluk magis dan dimana menemukannya, dengan lebar satu jengkal tangan, dan segulung kertas. Harry duduk menghadap pria tua dengan mulut penuh jenggot yang dipotong rapi. Hermione dan Ron sudah ikut duduk di kiri dan kanannya. Gulungan itu ternyata sebuah surat wasiat dari mendiang Dumbledore. Wasiat yang diberikan untuk ketiga murid kesayangannya. Sebuah buku cerita anak untuk Hermione, sebuah demulator untuk Ron, dan yang terakhir untuk Harry, Golden Snicth pertandingan pertamanya.

.......................................................................................................................................................

"Aku rasa Dumbledore meninggalkan pesan untuk kita."ujar satu-satunya perempuan di antara golden trio.

Rambut bergelombang yang sulit diatur agak keluar-keluar dari ikatannya. Saat ini mereka bertiga duduk di depan perapian. Di temani secangkir coklat panas di tangan.

"Apa yang mau dia katakan lewat buku anak-anak lapuk? Cerita si Beadle berjanggut, itu hanya fiksi." Sanggah Ron.

"Kau harus tahu Ron kalau sihir juga dihitung fiksi di dunia Muggle." Lanjut Hermione.

"Tapi itu beda!"

Terjadi perdebatan diantara keduanya. Harry tak mengacuhkan mereka. Dia hanya diam menatap seonggok buku lusuh di tangan Hermione. Buku itu dari tadi belum lepas dari tangan si kutu buku. Dalam hati dia mengiyakan kata-kata Hermione. Dumbledore yang sudah memprediksikan kematiannya pasti memberi petunjuk pada mereka.

"Harry.. kau dengar aku?"

"Mate, kau melamun lagi."

Harry mengerjapkan matanya. Sedikit merinding mendengar kata mate yang diucapkan Ron. Kata itu seharusnya hanya boleh keluar dari bibir Severus.

Dungeon BatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang