Nongkrong

4 0 0
                                    

Juni sedang dalam mode bundet. Pikirannya ngelantur kemana-mana. Imajinasinya terlalu aktif sampai-sampai sulit menuliskan cerita atau sebait puisi pun. Hari sudah gelap dan jam digital di ponselnya menunjukkan pukul 10 malam. Dengan kepala yang berdenging, ia bangkit dari duduknya di tepi jendela.

Juni beranjak menuju minimart yang ada sekitar 300 meter dari kosannya. Ia dengan jeans robek dan hoodie yang membalut mencoba mencapai minimart. Berhasil sampai di minimart yang cukup sepi, ia segera menuju ke rak lemari pendingin, mengambil asal cemilan rasa rumput laut dan bergegas ke kasir.

"Sama itu satu Mas."

Si kasir setengah tak peduli. Matanya sedikit menyelidik ke arah Juni dan malah dibalas dengan tatapan datar dan malas yang selalu Juni layangkan kapan pun. Ia terlalu ingin tau, batin Juni.

Kini tersisa Juni dengan sekaleng soda rasa jeruk dan snack rasa rumput laut yang sudah terbuka. Jemarinya mengamit sepuntung rokok yang baranya menyala merah di antara kegelapan balkon depan kamarnya.

Ya, Juni sudah kembali dari minimart dan langsung menuju kursi bambu yang ia gotong bersama mbak kos ke balkon. Ia mencoba mengendurkan otot-otot leher yang mengencang juga syaraf otak yang tidak mau berhenti berpikir.

Sebuah sesapan pada rokok di tangan kanannya membuat kepulan asap keluar dari celah bibirnya. Juni yang sudah berkuat tidak akan mencicipi rokok karena enggan bibirnya menghitam sudah menguap. Juni dengan sebungkus rokok yang masih tergolong ringan sedang duduk di balkon.

Buat Juni, nongkrong tak harus pergi ke café dengan harga menu yang kadang  tak masuk akal. Seperti sekarang ini, ia memilih nongkrong di balkon kosannya daripada harus mencapai café-café cantik atau bar dengan musik yang terlalu keras. Ia merasa keputusannya untuk membawa kursi bambu di depan kos ke balkon adalah keputusan terbaik yang ia lakukan bersama mbak kos.

Lamunan Juni buyar saat sebuah motor berhenti tepat di trotoar depan gerbang kosnya. Si pengendara membuka helmnya dan menunjukkan gigi-giginya. Si pengendara tak dapat melihat jelas muka dari Juni yang jelas sedang ditekuk.

"Ngapain anjir kayak orang gila." teriak Bobby.

Iya, itu Bobby yang ada di depan sana bersama Ovan si motor kesayangannya.

"Emang udah gila."

"Ayo ikut!"

"Kemana?"

"Kontrakan. Lo pasti gabisa tidur."

"Hih sok tau lo!" jawab Juni namun tetap memberesi jajanannya dan mematikan rokoknya untuk menyusul Bobby dan mengikuti kemana Bobby dan mengikuti kemana Bobby akan membawanya.

Bobby, Juni dan JogjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang