Juni mendudukkan dirinya di pendopo. Ia mengelus perutnya yang terasa nyeri. Kelas terakhirnya dibatalkan. Sementara Bobby masih kelas. Teman-temannya yang lain? Jangan tanya, pergi sama gebetan masing-masing.
Saat ini masih siang dan terik. Tak ada tukang jajanan yang lewat dan mampir di jam segini. Yang ada hanya anak-anak tari yang sedang berlatih di belakangnya.
Tok tok tok
Suara kentungan dari sepeda yang dikayuh penjaja cimol membuyarkan fokus Juni yang sedang bersandar di salah satu tiang penyangga pendopo. Matanya yang sempat setengah terpejam kini terbuka. Sedikit binar bahagia ada di mata Juni.
"Wey! Dari tadi?"
Juni setengah sadar, perutnya makin melilit. Seporsi cilok dengan banyak saus dan sedikit kecap tersisa bungkusnya saja di samping tempat Juni duduk.
Bobby duduk di samping Juni. Awalnya ia tak menyadari keadaan Juni. Mata sipitnya makin menyipit.
"Heh! Muka lo kok pucet?"
"Hm?"
Juni hanya berdeham. Alisnya tertaut menahan gejolak di perutnya. Tangan yang berada di perut itu mencengkram kuat menyalurkan sakit di perut yang makin menjadi-jadi.
"Lo sakit?! Wey! Ayo ke rumah sakit!" ucap Bobby panik.
Tangannya menggeret sebelah tangan Juni yang segera Juni tahan.
"Balikin gue ke kos aja," ucap Juni di antara nyeri di perutnya yang makin melilit.
"Serius?"
"Iya" ucap Juni dan terputus karena perut yang makin melilit. "Buru Bob."
Bobby jongkok dan segera menaikkan Juni ke punggungnya. Ia berjalan setengah berlari ke arah parkiran Gedung Musik dan Tari. Dengan Juni di punggungnya, ia berjalan tanpa merasa repot. Pemandangan itu membuat sebagaian besar pandangan mata di fakultas mereka, sebagian lain disertai cuit-cuitan ganjen. Yah siapa lagi kalau bukan kawanannya Bobby.
Sampai di kosan, Juni dengan dibantu Bobby langsung menggelepar ke sofa ruang tamu. Badannya berguling-guling dan berakhir menekuk perutnya. Ia sesekali mengaduh dan mencengkram perutnya. Kakinya tertekuk dan badannya tergulung.
"Lo sakit apa? Perut? Gimana?"
"Kayaknya maag gue kumat."
"Lo telat makan?"
Juni mengangguk dan mengerang.
"Di atas ada obat?"
Juni menggeleng, "Abis. Ga nyetok."
"Yaudah. Tunggu bentar ya." ucap Bobby sembari mengusap kepala Juni pelan.
Bobby menghilang sesaat, ke apotek seberang dan lari ke minimart terdekat untuk mendapatkan roti. Ia kembali dengan peluh yang tak jauh berbeda dengan Juni, bedanya Juni keringat dingin saking sakitnya perutnya. Di tangannya berisi banyak plastik, berisi mulai dari teh hangat, roti, obat maag, juga beragam hal lain.
"Ini teh anget diminum dulu." ucap Bobby sambil menyodorkan bungkusan teh yang sudah ia buka.
Bobby dengan sigap membantu Juni duduk. Juni yang masih lemas pun menurut saja. Dengan kaki yang ditekuk, ia duduk bersandar pada sofa. Matanya setengah terpejam dengan alis yang mengerut dan bibirnya yang cemberut menerima sodoran sedotan dari Bobby.
Bobby mengambil bungkusan lainnya yang tergeletak di meja. Membukanya dengan brutal dan mengambilnya. Dengan telaten Bobby mengelap keringat yang membuat tampang Juni makin menyedihkan.
"Udah?" tanya Bobby saat melihat Juni selesai dengan teh hangatnya.
Juni mengangguk sebagai jawaban.
Bobby beralih pada plastik lain berisi roti, "Ini makan dulu dikit-dikit."
Juni mengambil sodoran roti dari Bobby. Ia memakannya dengan perlahan. Satu gigitan yang dikunyah dengan amat pelan, dan diselingi dengan kernyitan hasil dari kontraksi di perut Juni. Selesai dengan satu gigitannya, Bobby menyodorkan obat maag.
"Ini, diminum. Bisa minum obat tablet?" lanjut Bobby dibarengi dengan membuka bungkusan tablet obat maag.
Juni menggeleng sebagai jawaban. Rasanya Bobby ingin menepok kepala Juni, tapi nggak tega. Ia diam dan membaca-baca ulang petunjuk obat.
"Yaudah, dikunyah aja terus diminumin teh anget."
Juni mengangguk dan melakukan sesuai instruksi Bobby. Kini Juni kembali tiduran, meringkuk seperti tadi, yang berbeda hanyalah keberadaan Bobby yang meminjamkan pahanya sebagai bantal Juni. Jangan lupa tangan Bobby yang masih sibuk dengan dahi Juni yang berkeringat ding.
Sebelum terlelap, telinga Juni masih sempat menangkap ucapan Bobby, "Besok lagi bilang kalo belum makan. Gausah makan pedes juga kalo tau gitu" Juni enggan menjawab dan berakhir adus bacot, ia mengangguk pasrah dan makin menekuk lututnya.
tbc

KAMU SEDANG MEMBACA
Bobby, Juni dan Jogja
FanfictionJogja menjadi istimewa buat kamu yang memiliki keeratan kenangan di sana. "Semanis apapun kenanganmu jangan minum teh botol, karena akan tetap pahit jika hanya mampu kau kenang," -Bobby. [potongan kisah-kisah tolol antara Bobby dan Juni di Jogja]