Pukul 5 lebih mereka sudah mendapatkan tempat untuk menunggu matahari terbit. Kini mereka sudah duduk di atas matras dan menghadap ke hamparan lampu-lampu di bawah sana. Sedangkan langit di depan mereka bersemburat jingga, lengkap dengan cetakan tegas siluet Gunung Merbabu dan Merapi.
Perjuangan gila-gilaan dari Juni yang jarang berolahraga, juga Juni yang tak terlalu kuat hawa dingin, juga Juni yang penakut sebab suasana hutan pos 1 yang terasa terlalu senyap, sepertinya akan segera terbayar. Lebay mungkin, tapi memang demikian faktanya.
Nanjak tanpa persiapan akan masuk list teratas hal yang Juni sesali. Badannya terasa remuk, terutama kakinya. Belum sampai di pos 1 saja Juni sudah mengeluh pegal. Bukan mengeluh dengan umpatan, Juni masih tau adat dan sopan, ia berkali-kali meminta istirahat. Sepuluh langkah naik, berhenti. Sepuluh lagi, berhenti lagi. Itu masih di tanjakan awal menuju pos 1 dengan medan berupa anak tangga dari tanah liat.
Mendekati pos 1, tanjakan makin terjal dengan medan lebih alami. Juni sudah ngos-ngosan. Bobby berjalan di depannya nampak biasa saja, meski nafasnya juga terdengar cukup keras. Bobby mencari jalan yang mudah di depan, tangannya akan terulur untuk menarik Juni. Begitu seterusnya hingga pos 3. Genggaman tangan Bobby tak lepas hingga puncak.
Oh ya, jangan lupakan makanannya yang tadi sudah keluar dalam wujud muntahan sesaat setelah mereka melewati pos 3. Berarti genggaman tangan mereka lepas saat Bobby memijit tengkuk Juni. Saat itu Juni hampir saja memutuskan untuk putar balik dan turun. Namun kepalang tanggung jika hanya sampai pos 3 saja, karena sedikit lagi puncak.
"Kalo nggak kuat, kita turun aja." ucap Bobby sembari memijit tengkuk Juni, tangannya yang lain memegangi anak rambut Juni agar tak kena muntahan.
Juni diam. Pikirannya kemana-mana. Matanya berlari dari tanah tempat ia muntah ke langit malam yang mulai malu.
"Nanggung."
"Bener gapapa?" tanya Bobby tak yakin. "Mau gue gendong?" tawar Bobby.
Juni menggeleng kuat. Ia masih punya belas kasihan, apalagi melihat tasnya juga 2 gulung matras yang sudah ada di punggung Bobby. Berkat keinginan kuatnya, Juni sampai di puncak dengan kaki tremor dan pegal luar biasa.
Mereka sekarang duduk santai di atas matras masing-masing. Bibir pucat Juni tersenyum tipis. Dalam hati ia tak menyangka ia mampu. Mungkin memang ia menyesali keputusan ini, tapi menyesali dalam artian menyenangkan dan membuat Juni akan lebih rajin berolahraga agar sewaktu-waktu bisa nanjak dengan lebih ringan.
"Kalo gue jahat, udah gue tinggalin lo di pos 3." celetuk Bobby di sela-sela kunyahannya. Iya, dia nyemil Citato rasa BBQ.
"Emang lo tega ama gue?"
Bobbytak menjawab dan kembali sibuk dengan snacknya. Ya, itu sebelum Juni denganberingas merebut dan tak membaginya ke Bobby. Begitulah sunrise Bobby dan Junikali ini. Disponsori dengan keributan soal snack, Gunung Andong, dan siluet GunungMerbabu juga cuaca cerah yang membuat semburat langit makin nyaman untukdipandangi.
tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Bobby, Juni dan Jogja
FanfictionJogja menjadi istimewa buat kamu yang memiliki keeratan kenangan di sana. "Semanis apapun kenanganmu jangan minum teh botol, karena akan tetap pahit jika hanya mampu kau kenang," -Bobby. [potongan kisah-kisah tolol antara Bobby dan Juni di Jogja]