Deburan ombak pantai membayar lelahnya perjalanan dari Jakarta menuju Bali. Waktu sudah menujukkan pukul delapan lewat sepuluh menit. Lampu-lampu resor hangat menyapa pandang, sedikit menyilaukan netra kecokelatan si gadis berkacamata.
“Nggak masuk, Nau?” celetuk seseorang dari arah belakang.
Naura sedikit terkejut mendengar suara berat itu, ia berbalik. Tersenyum simpul seraya menggeleng sebagai jawaban. Kembali menatap lautan lepas di depan resor ini.
“Dingin lho di luar,” ucap laki-laki itu lagi.
Tidak ada jawaban dari Naura, membuat laki-laki yang mengenakan kaus cokelat berbalut jaket parka hitam itu menggela napas berat. Sejak kemarin, Naura kelihatan tidak bersemangat. Ditanya pun, dia selalu menjawab dengan gelengan.
“Bulannya bagus, ya?” ucap, laki-laki itu mulai bingung.
Naura lagi-lagi tersenyum simpul. “Iya,” jawabnya singkat.
Merasa semakin aneh dengan gadis di sebelahnya, laki-laki itu mengarahkan tubuh sejurus dengan Naura. Memandangi wajah sendu gadis berkacamata yang berada di hadapannya.
“Yang patah, bisa tumbuh. Yang jatuh, bisa babgkit. Yang mati?”
“Akan abadi,” sahut Naura.
“Abadi, ya,” gumam laki-laki itu, merespons ujaran Naura.
Naura terkekeh. “Aku masih nggak percaya aku beneran bisa ke tempat ini lagi. Walau bukan sama Alpha,” ucapnya lirih.
“Kamu pernah ke sini?”
Naura mengangguk. “Kelas dua SMP, keluarga aku sama keluarganya Alpha liburan bareng ke sini. Udah tiga tahun yang lalu.”
Gadis berkacamata itu menunduk, melepas iktan rambutnya. Mengantungi karet abu-abu muda itu dan menatap rembulan di atas lautan. Entah kenapa, Naura merasa tenang memandanginya.
“Dulu Alpha pernah janji, mau bawa aku ke sini kalau umur kita genap tujuh belas tahun. Kelas dua SMA, sama-sama sekolah di Gerhana.” Naura terkekeh pilu.
“Rasanya, seperti mengulang masa lalu. Sakit, Do,” lirihnya.
Air mata lagi, Naura selalu gagal kalau sudah Alpha yang dibicarakan. Sakit, perih, kecewa, bercampur menjadi satu meruntuhkan makna. Menapaki tanah Bali ini, membuat Naura merasa kembali kehilangan warna.
“Ada nggak ya, yang lebih menyakitkan dari kehilangan dan ditinggalkan orang tersayang?” lanjut Naura.
“Ada, Nau.”
Naura menatap laki-laki di sebelahnya. Entah sejak kapan dia ikut menangis, air mata itu, membuat Naura merasa bersalah.
“Hah?”
“Ada yang lebih sakit dari kehilangan,” ulangnya.
Naura mengernyit, “Apa?”
“Melihat masa depan,” jawab Valdo singkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Half Nerd : I'm Nerdy Not Puny! [Selesai]
Roman pour AdolescentsNaura sempat mengira rasa sakitnya akan berakhir setelah semesta menghadirkan sosok Valdo yang luar biasa. Sayang, perkiraan Naura salah total. Itu bukan akhir, tapi awal dari penderitaan yang sesungguhnya. *** Half Nerd : I'm Nerdy, Not Puny! Ding...