62. Dia

92 12 20
                                    

“Bahagia hanya sementara, selebihnya adalah luka”


Happy Reading!

Beberapa saat sebelum kejadian tabrakan itu terjadi.

Vano dan anggota inti Graventas memasuki kelas, mereka menemui Daffa yang tengah menenggelamkan wajahnya dimeja.

"Nih handphone lo," Angga mengeluarkan handphone milik Daffa lalu mengembalikannya.

Daffa sedikit menegakkan tubuhnya, lalu mengambil handphone miliknya ditangan Angga. "Thanks."

"Hari ini ada ulangan mendadak," ujar Faiz tiba-tiba membuat semua anggota inti Graventas termasuk Daffa langsung menatapnya.

"Kata siapa lo?" tanya Dylan penasaran.

"Dengar dari anak-anak," jawabnya.

"Shit! Gue belum belajar," celetuk Angga.

"Sama woy. Semuanya juga gak pada belajar,  ulangannya aja mendadak. Mana sempat," keluh Faiz.

"Mata pelajaran apa?" tanya Vano yang sedaritadi menyimak serius.

"Fisika,"

"Gila, gimana nasib gue? Paling malas gue belajar gituan!" ujar Dylan tak bersemangat.

"Tenang prend, kita punya Vano. Ya gak, Van?" Faiz merangkul pundak Vano, sedangkan yang dirangkul malah menepisnya.

"Gak, Gak, Gak! Kerjain sendiri, jangan nyontek mulu!" kesal Vano pada teman-temannya.

"Ayolah Vano. Gue udah pasrah banget," bujuk Dylan berharap Vano mengiyakan ucapannya.

"Kalau kalian pada nyontek, kapan pinternya?!" gumam Vano memutar bolanya malas.

"Kan kita semua gak ada yang pinter, kecuali lo," ucap Angga cengengesan.

Vano memikirkan ucapan Angga, ada benarnya juga sih. Tapi tidak, mau sampai kapan teman-temannya bergantung terus padanya?

"Gue juga gak pinter-pinter amat. Tapi gak kayak kalian juga, yang gak punya kepintaran sedikitpun! Cih!" sindir Vano tertuju pada teman-temannya.

"Iya dah terserah yang pinter," Angga menanggapi dengan pasrah.

"Yang pinter mah bebas!" sambung Faiz.

"Yang pinter mah beda, gak kayak kita-kita. Ya gak?!" tambah Dylan.

Semua anggota Graventas tertawa keras, tidak termasuk Daffa. Tak ada yang menyadari jika Daffa sedaritadi tidak ikut mengobrol, melainkan hanya diam, menyimak pun tidak sama sekali.

Pikiran Daffa kacau, otaknya seakan ingin pecah dan meledak. Entah apa yang membuat Daffa bangkit dari duduknya. Ia berjalan menuju keluar kelas, anggota Graventas yang melihatnya dibuat terheran-heran.

"Ehh, si Daffa mau kemana?" tanya Faiz heran.

"Gak tau. Ikutin!" perintah Vano pada anggota Graventas.

"Enggak jadi ulangan?" tanya Faiz polos membuat langkah Vano terhenti.

"Yaelah, urusan belakangan itu!" jawab Angga.

"Yoii, malah bagus kalau kita gak jadi ulangan. Palingan ulangannya susulan, jadi kita bisa saling contek-contekan!" tambah Dylan.

Dengan gerakan cepat, anggota Graventas mengikuti kemana Daffa pergi.

Sedangkan Daffa menaiki motornya yang berada diparkiran. Ia langsung menjalankan motornya dengan kecepatan tinggi.

"Mau kemana sih tuh bocah, kagak bilang-bilang!" kesal Faiz mengerutkan keningnya.

My Name Is Alya (Alia?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang