01. Dekat Terabaikan

793 121 1
                                    

Aku termenung di sisi lapangan sekolah. Sedangkan teman-temanku yang lain, sudah siap-siap berdiri di lapangan untuk melakukan pemanasan. Hei, pikir saja, jam sepuluh matahari sedang menunjukkan terik yang benar-benar terik dari atas sana.

Setelah bebas dari mata pelajaran Kimia, aku dihadapi dengan mata pelajaran selanjutnya, yaitu PJOK.

Sangat tidak mengenakkan untuk seorang gadis yang malas berolahraga sepertiku ini. Sedangkan Birai, sedari tadi ia terus meneriaki namaku. Namun sengaja, tidak dihiraukan. Lagi pula, Pak Atma juga belum datang.

"Gantari Akara! Lo budek apa gimana, sih? Ayo dong, baris."

Sesampainya dihadapan, Birai menarik lenganku agar berdiri. Aku hanya bisa menghela napas, dan menolak saat Birai mengajakku baris di depan. Tidak! Tentu saja aku menolak.

Asal kalian tahu, ya. Aku ini pemalu, hehe....

Tidak tahu deh kalau nanti.

Aku memilih berbaris di barisan paling belakang. Di sebelah kiri, ada dua orang perempuan teman satu kelas yang belum kenal terlalu dekat. Sedangkan di sebelah kanan, seorang lelaki yang sering aku lihat di kelas.

Ya, iya. Kan satu kelas, gimana, sih? Ah, maksudku, aku sering melihat dia berdiam diri di kelas. Tampaknya, hanya dia yang tidak berbaur dengan golongan Arjuna, yang katanya 'pentolan kelas XI IPA 4.

"Bapak lagi kurang enak badan, nih? Nanti kalian olahraga masing-masing aja, ya? Materinya masih sama, yaitu bola basket. Tapi, pimpin dulu pemanasannya. Bapak mau tidur aja di UKS."

Hah...

Pak Atma ada-ada saja. Sudah tiga kali pertemuan, yang dapat aku nilai, guru PJOK yang satu itu memang lucu dan bersikap friendly pada murid-murid lain. Sangat berbeda, dengan guru olahraga di SMA-ku di Jakarta.

"Eh, siapa nih, yang mau mimpin?!" suara Birai yang lebih mirip teriakan itu menginterupsi teman-teman untuk menghadap ke depan. Tidak lupa pula, dia memasang raut wajah garangnya.

Begitulah, bendahara kelas.

"Si Abin, tuh. Dia kan, ketua kelas!" sahut lelaki berwajah agak bule. Yang kutahu, namanya Kalingga.

"Dih? Nggak-nggak! Apa-apaan. Ogah, ah. Seksi kesehatan lah!" seru Abin, tidak terima. Oh ya, nama lengkap ketua kelasku itu, Abinawa Wirasana.

"Udah! Jangan pake pemanasan-pemanasan segala! Ini aja udah kepanasan anj." timpal Tranggana.

"Mending bubar," tiba-tiba cowok berambut agak gondrong itu menyeletuk. Namanya, Bayanaka.

Aku geleng-geleng kepala mendengar seruan dari anak-anak lain. Dua perempuan di sebelahku juga sama, seperti mereka. Hanya lelaki di sebelah kananku yang tampak diam, dengan pandangan ke bawah. Seperti menghindar dari teriknya baskara.

"Kamu kenapa? Kok muka kamu agak pucat?"

Dia hanya menggeleng sebagai balasan. Aku melihat rambutnya sudah basah karena peluh, yang juga ikut turun membasahi sebagian wajahnya.

"Temen-temen, tolong dong, ini ada yang sakit!" aku berseru lebih keras. Membuat Birai di depan berjinjit guna mendelik padaku yang ada di barisan belakang ini.

Anak-anak lantas menoleh, namun salah satu dari mereka ada yang menyeletuk tidak mengenakkan.

"Halah! Udah, anak baru. Lo nggak usah peduliin dia. Cuma pura-pura, buat diperhatiin." Arjuna, iya itu suaranya. Lelaki yang 'katanya' agak nakal yang ada di kelas XI IPA 4.

"Biasa, Jun. Selama ini kan, dia nggak pernah dapat perhatian!" Beberapa anak-anak tak berperasaan menertawakan ucapan Tranggana, seolah menganggapnya bahwa itu adalah sebuah candaan.

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang