44. Jangan Menghindar (Lagi)

238 71 11
                                    

Langkahku memelan, ketika hendak melewati rumah yang bersebelahan dengan tempat tinggalku. Rumah berpagar tinggi menjulang, rumah yang sering ku dengar suara ribut-ributnya kala itu. Dengan tentengan kantong kresek di tangan kananku, sesekali aku mendelik ke arah sana.

Apakah Mahesa sudah pulang, sore ini?

Apa ... dia jadi? Mengajakku ke taman kompleks? Naik sepeda, mencari bunga di sana. Katanya, beberapa hari yang lalu sebelum kejadian itu.

Napasku tertahan, ketika tak sengaja menangkap sosoknya yang tengah berdiri. Dapat kulihat dari celah gerbang rumahnya, Mahesa melangkah ke depan dengan setengah berlari.

"Gantari?" Ia membuka gerbangnya dengan cepat.

Namun maaf, aku memilih untuk tak berhenti mengayunkan kaki hingga sampai ke rumah. Pandangan lurus ke depan, tanpa menghiraukannya yang memanggil namaku. Mahesa masih dengan baju tidurnya yang longgar, walaupun hanya sekilas, aku juga melihat wajahnya yang masih pucat.

Akhirnya aku menoleh, sembari mendorong gerbang rumah. Mahesa berdiri menatapku dari jarak beberapa meter. Dari gerak-geriknya ia tampak menghela napas.

"An, aku mau bicara," ujarnya.

"Nanti aja, aku mau langsung masuk."

Setelahnya, tak lagi dapat kulihat sosok Mahesa. Meski hati mengiyakan, ragaku menolak untuk ajakan itu.
Mahesa menatap nanar ke depan, sebelum akhirnya ikut berbalik badan dan masuk ke dalam pekarangan rumahnya.

Kemudian, hari berikutnya, dari jam masuk sampai bel istirahat berbunyi Mahesa berusaha mendekat padaku seperti biasanya. Dari pertama bertemu di koridor pagi tadi, ia sama sekali tak menyapa--begitu pun dengan aku sendiri.

Tahu bukan, bagaimana Mahesa. Ia tidak akan memulai jika bukan orang lain yang memulai duluan.

Akhirnya ia bersuara, disertai embusan napasnya yang terdengar berat, "An, mau ke mana?" Pertanyaan monotonnya membuat aktivitasku yang tengah membereskan alat tulis, terhenti.

Birai mengulum bibirnya memperhatikan kami. Aku menjawabnya dengan segera, "Istirahat. Udah bel." seraya menutup buku dengan suara keras.

Lalu, kutarik lengan Birai, membawanya keluar kelas. Birai sampai kebingungan sendiri, bahkan saat ia bertanya-tanya, aku semakin melangkahkan kaki dengan cepat.

Hingga sampai di kantin, seperti biasa Birai memilih meja yang berdekatan dengan Arjuna dkk. Entah kenapa, namun untuk sekarang aku tidak ingin berkomentar banyak. Cukup duduk, pesan--dan nikmati makanan Ibu kantin.

"Bir," kudengar Kalingga memanggil.

Birai meralat panggilan itu, "Rai!"

"Iya, iya! Rai, lo udah kerjain PR matematika?"

Percakapan keduanya ku simak baik-baik sembari menyesap minuman yang baru saja tiba.

"Udahlah, kenapa? Mau nyontek? Bayar dulu tunggakan kas lo. Numpuk!" sahutnya, dengan nada ngegas.

"Makanya Kai, kalau kata Abi itu uang buat bayar kas, tuh, ya dibayar," ujar Abin, seraya memasukkan bakso ke dalam mulutnya.

Tranggana berceletuk, "Nyontek aja."

"Hm, gue juga ada nomor yang belum di isi," tambah si ketua kelas.

"Udah kelas 11, masih nggak ada kapok-kapoknya. Giliran nanti mau ujian, nanya-nanya ini hasilnya dari mana," jelas Bayanaka, menghela napas singkat.

Arjuna bersuara, "Nyontek aja sama yang baru masuk hari ini." Dan orang yang dimaksud adalah Mahesa.

Di kelas, Kalingga menghampiri meja anak lelaki yang tengah duduk dengan pandangan kosong. Kalingga menggebrak pelan meja Mahesa, kemudian meminta untuk menyerahkan buku PR matematika miliknya.

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang