"Mahesa nggak kenapa-kenapa. Dia anak baik, anak kuat, selalu dalam lindungan Tuhan." Bunda Rinai mengusap punggungku dengan pelan, kedatangannya sedikit membuatku merasa tenang. "Sekarang kita pulang, ya? Kamu juga harus istirahat, Bunda juga nggak mau kamu kenapa-kenapa," katanya.
Setelah percakapan singkat itu, aku memilih untuk menuruti. Meski langkah terasa berat guna meninggalkan Mahesa terbaring lemah dengan mata yang masih terpejam tanpa celah. Baik Bayanaka, Arjuna, Kalingga, Abin, Tranggana dan Birai pun, mereka mengikuti apa yang dikatakan Bunda.
"Arjuna, dan teman-teman, terima kasih ya, sudah menolong Gantari," ucapan Bundaku dibalas anggukan pelan oleh semuanya.
Kami melangkah melewati lorong rumah sakit untuk keluar dari area tersebut. Aku dan Bunda juga sempat berpamitan dengan Ibunya Mahesa, tetapi respon wanita itu benar-benar tak mengenakkan, sampai Bundaku tersenyum miris sembari menghela napasnya.
Sesampainya di rumah, kedatanganku disambut hangat oleh Ayah Heksa. Ia sampai mengusap surai panjangku yang sedikit acak-acakan, "Gantari, kamu nggak apa-apa, Nak? Ayah kepikiran kamu, syukurlah kalau baik-baik aja. Keadaan temanmu itu bagaimana?"
Mahesa, banyak orang yang peduli denganmu. Dengan menanyakan bagaimana keadaanmu.
"Mahesa belum siuman," hanya itu yang dapat kujawab dengan suara pelan.
Setelahnya Ayah Heksa mengulas senyum tipis, Bunda membawaku ke kamar dan memerintahkan untuk istirahat dengan segera. Saat berada dalam ruangan ini sendirian, aku menatap pantulan diriku pada cermin. Semrawut.
Bagaimana bisa aku beristirhat dengan tenang, jika nama Mahesa terus terngiang dalam benakku.
Sungguh, aku masih menyesali kejadian tadi. Namun sepertinya sia-sia, itu tidak akan merubah keadaan untuk ke depannya nanti.
Ponsel di atas nakas tiba-tiba berdering, terpaksa ku lepas sambungan charger. Ada nama Arjuna yang tertera. Entah ada apa, ia meneleponku. Padahal, jaket miliknya yang sempat ia kenakan di tubuhku tadi, sudah ku kembalikan.
Suaranya terdengar, "Udah sampai?"
"Iya, baru aja."
"Besok libur, lo pasti mau ke rumah sakit lagi, kan? Bareng aja kalau gitu." Tumben sekali.
"Oke."
"Hm, nanti gue kabarin kalau mau on the way," balasnya dari seberang sana.
Aku ikut berdeham, kemudian memilih untuk mematikan sambungan. Rasanya malas untuk sekadar menatap benda pipih ini, tetapi ada lagi sederet pesan masuk juga panggilan tak terjawab.
Astaga, nama Bayanaka juga ikut melakukan sambungan telepon.
Bayanaka
Maaf kalau ganggu|
ternyata lagi tlp sama yg lain|Nggak apa-apa, Bay|
Ada apa?|Besok ke sana, bareng ya?|
Bayanaka is typing....
Ia menawarkan hal yang sama seperti apa yang Arjuna bilang kala di telepon barusan. Sejenak aku terdiam, sembari menunggu pesan selanjutnya masih belum tersampaikan. Hampir satu menit, Bayanaka mengetik apalagi?
Maaf Bayanaka|
sepertinya nggak usah|
Aku diantar sama Bunda|Read.
KAMU SEDANG MEMBACA
AUDIRE [✔]
Fanfiction"Sama seperti tujuanku kala itu. Ingin tetap di sisimu. Tapi sepertinya, Tuhan kabul doaku yang ingin pulang untuk tenang. " *** Sering dijadikan bulan-bulanan teman sekelas, dijauhkan, kerap mendapatkan omelan, dan selalu dibanding-bandingkan, mem...