Hari berikutnya, pagi-pagi seperti ini aku sudah dibuat terkejut. Sebenarnya tidak begitu terkejut, hanya saja sedikit ... bingung. Melihat sosok Mahesa dan satu orang di sebelahnya. Hanasta. Dari lantai koridor, aku melihat mereka berjalan bersama dengan langkah sejajar.
Aku menggeleng. Tersadar sendiri, mengapa tidak segera menuju kelas. Sebuah jaket berwarna cokelat tua dalam dekapanku. Ya, pasti kalian mengetahui ini milik siapa. Sengaja aku melangkah lebih cepat, sebelum Hana dan Mahesa melihat.
Cuaca yang mendung dari kemarin membuat jam tujuh pagi ini seperti masih jam enam. Tak ada yang namanya sorot sang fajar dari ufuk timur, yang ada hanya awan gelap disertai sepoi angin.
Di lapangan utama, terdapat beberapa genangan air. Aish! Hari ini kan ... ada pelajaran olahraga. Semoga saja Pak Atma tidak masuk. Alias, biasanya guru-guru kalau musim hujan begini lebih memilih diam di ruangannya.
"An!" Birai dari bangkunya melambaikan tangan. Rupanya gadis itu sudah datang lebih awal. "Ah, sumpah! Gue nyesal nggak bawa sweeter." Ia bertutur demikian. Mungkin saat melihat benda yang ada di tanganku.
"Ini bukan punyaku." Keningnya mengenyit saat itu juga.
Kuletakkan ransel di atas meja, bukan segera duduk, aku berjalan menghampiri segerombol laki-laki yang setiap pagi sudah duduk berkumpul di barisan paling pojok. Menghela napas panjang, dengan perasaan gugup setengah mati. Langkahku tetap mendekat pada Arjuna.
Bukan gugup dalam artian orang yang menjalin hubungan. Ini lebih ke--pasti, ada saja nantinya yang mengejek.
"Arjuna, ini jaket kamu kemarin," tanganku terulur. Semuanya mengarahkan pandangan kepadaku.
Arjuna mengangguk dengan alisnya yang terangkat. Lalu menerimanya, langsung memasukkan ke dalam tas. Segera aku berbalik badan, menjauh dari mereka. Samar-samar suara yang lain menginterupsi pendengaranku.
Abin berdeham, "Udah pinjam-pinjaman jaket nih, ceritanya?"
"Eh, pasti romantis banget nggak, sih? Kemarin kan hujan, tuh!" tambah Kalingga.
Tranggana mengerutkan kening, "Apa hubungannya sama hujan, anjir?!"
"Ya, siapa tau. Gantari kan kedinginan, terus, dipakein jaket sama Arjuna," tawa mereka mengudara. Kecuali Arjuna sendiri yang berdecak. Juga Bayanaka yang masih belum ada respon apa-apa.
"Ngaco lo bertiga. Sengaja sih, gue. Biar jaketnya dicuciin." Aku reflek mendesis mendengar pernyataan konyol itu. Jelas-jelas kemarin ia sendiri yang mengatakan, tidak mau seragamku basah, dan kedinginan. Eh? Maksudku ... ah, kenapa jadi seperti mengharapkan Arjuna mengatakan yang sebenarnya?!
"Nggak usah ngelak, Jun." ucap Abin, "Atau ... kalian berdua lagi berlomba-lomba dekatin Gantari, ya?" lanjutnya, tertuju pada Arjuna dan Bayanaka.
"Masih pagi, Bin. Jangan ngelantur," Bayanaka membenarkan kacamata yang bertengger di batang hidungnya.
Tranggana menepuk bahu si ketua kelas, "Bukan cuma berdua, Bin. Tapi bertiga. Tuh, sama dia." Pandangannya tertuju pada dua orang yang berdiri sambil berbincang di ambang pintu kelas.
Mahesa dan Hanasta.
Hal tersebut membuat mata Kalingga terbuka lebar, "Wah, pagi-pagi udah dikasih lihat cewek cantik kayak Hana."
Benar saja. Bola mataku berputar melihat itu. Bukannya segera masuk kelas, Mahesa masih enak-enakkan berbincang dengan Hana di depan pintu. Aku duduk, menopang dagu, memilih menghadap papan tulis putih yang belum terjamah oleh spidol hitam.
"Lah? Dia sakitnya cuma sehari, kah?"
Aku tertarik akan ucapan bingung Birai. Aku belum menyadari hal itu. Padahal, yang kemarin kulihat, kondisi Mahesa belum sepenuhnya baik. Tapi sekarang ia sudah masuk sekolah, terlebih lagi jadwal hari ini padat. Sampai jam setengah empat sore.
"Mungkin udah sembuh," balasku, acuh tak acuh.
"Gimana sih, bukannya lo kemarin jenguk dia? Eh by the way, itu si Hana memang dekat ya, sama Mahesa?"
"Iya mungkin. Tanya aja sama orangnya."
Birai memaksaku untuk menghadap ke arahnya. Yang otomatis, akan terarah, pada ambang pintu."Kenapa sih, An? Pagi-pagi udah badmood aja."
Helaan napas mengudara, memilih untuk tidak melanjutkan percakapan dengan Birai. Aku pun tidak tahu, diri sendiri kenapa. Hanya, sedang ingin tidak memikirkan hal apa pun. Terlebih lagi saat mendengar kata-kata yang terlontar dari geng sebelah ketika aku mengembalikan jaket Arjuna.
Menggeser meja, berdiri dan melangkah meninggalkan Birai. Di ambang pintu, sapaan untukku terdengar, Hana tersenyum dengan lambaian tangannya.
"Hai, Gantari? Kamu mau ke mana?"
"Keluar, udaranya sejuk."
"Oh--"
"Maaf, kalau mau ngobrol jangan di depan pintu kelas." Hana tersenyum kikuk dan mengangguk, ia meminggir, begitu juga dengan Mahesa. Kenapa laki-laki tidak masuk ke kelas?
"Muka kamu agak pucat, tuh. Omong-omong, aku bawa bekal. Nanti kita makan bareng, yuk?"
Sepenggal kalimat dari Hana untuk Mahesa menyeruak dalam rungu.
***
Jam kosong di pelajaran kedua, kemudian langsung disambar dengan berdering bel istirahat di penjuru SMA Darmawangsa. Sontak hal itu membuat anak-anak yang lain kegirangan, mereka cepat-cepat keluar hanya untuk memesan makanan lebih dulu.Aku sudah duduk di kantin. Apa lagi jika bukan karena paksaan Birai. Cuaca begini harusnya lebih enak di kelas. Mendengarkan musik, menelungkupkan kepala di atas meja, lalu biarkan mata terpejam dengan sendirinya.
Gadis di hadapanku masih sibuk melahap mie rebusnya. Sedangkan makananku sendiri, baru dicicipi dua suap. Selang dua meja, di sebelah kanan, ada Hana dan Mahesa.
"Makan An, nanti keburu dingin nggak enak!"
"Ya, ini aku makan, kok." Satu suapan masuk ke dalam mulut. Pandanganku masih tertuju pada mereka. Hampir saja aku tersedak kuah mie, ketika tatapanku dan Mahesa tak sengaja bertemu.
Di sana, Hana membuka kotak bekalnya, mendorongnya mendekat pada Mahesa. Laki-laki itu mengambil makanan, entah apa aku tak tahu. Hana sendiri, tampak senang akan hal tersebut.
"Rai, aku ke kelas, ya? Mau ambil ponsel. Ketinggalan."
"Serius? Yaudah, sana. Tapi balik lagi, ya?!"
Aku mengangguk ragu, "Ya ... nggak janji. Udah aku bayar kok makanannya."
Melangkahkan kaki keluar dari area kantin yang semakin ramai. Gemercik gerimis tiba-tiba kembali turun. Hari ini semangatku benar-benar tidak ada. Sambil berjalan di koridor, aku dapat menghirup aroma petrikor yang menyeruak.
Udara semakin dingin. Diam di kelas adalah pilihan yang paling bagus.
Di 11 IPA 4, benar-benar tidak ada orang selain diriku yang merogoh kolong meja untuk mengambil ponsel dan earphone.
"Rai, maaf ya...." aku memilih untuk duduk dan menyandarkan punggung. Menyumpal kedua telinga dengan sepasang earphone yang tersambung pada ponsel.
Lagu dari Feby Putri yang berjudulkan Liar Angin mengalun dengan melodi yang menenangkan.
Sampai tiba-tiba aku terlonjak, ketika seseorang menarik satu earphone-ku. Duduk di sebelah, lalu menyumpalkan di telinganya.
"Kamu?"
"Kenapa?"
"Sana, pergi."
Arjuna menggeleng pelan. Bahkan, melipat kedua tangannya di depan dada.
"Jangan disembunyiin. Gue tahu, lo cemburu, kan?"
"Maksud kamu?"
"Mahesa, lah. Siapa lagi," jawabnya begitu enteng.
"Sok tahu."
Ia berdecak, "Pantas, langit mendung dari pagi."
"Sinarnya lagi jealous." lanjut yang terdengar lirih itu membuat napasku tercekat.
***
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
AUDIRE [✔]
Fanfiction"Sama seperti tujuanku kala itu. Ingin tetap di sisimu. Tapi sepertinya, Tuhan kabul doaku yang ingin pulang untuk tenang. " *** Sering dijadikan bulan-bulanan teman sekelas, dijauhkan, kerap mendapatkan omelan, dan selalu dibanding-bandingkan, mem...