"Kalau nggak mau, nggak apa-apa, kok. Gue nggak maksa--"
"Iya ... deh, aku mau! Soalnya, udah lama juga nggak cari buku baru." Aku menyetujui ajakan Bayanaka. Kali ini istirahat kedua, kami melangkah bersama melewati koridor yang ramai, setelah sama-sama dari perpustakaan.
Bayanaka terlihat mengembangkan senyumnya. Langkahnya semakin pelan, seakan-akan mengikuti tempo kita yang tengah berbincang ini. Tidak ada salahnya bukan, aku menerima? Buku bacaanku juga sudah habis. Kadang membacanya kembali berulang kali hingga hafal alur ceritanya.
Satu tangan laki-laki itu memegang sebuah buku, "Lo suka, baca apa? Maksudnya, genre?"
Aku tersenyum kikuk, "Romansa, teenlit, sih. Meski, nggak terlalu bermanfaat? Tapi ... rasanya senang aja. Apa lagi, kalau buat salting sendiri. Kapan ya, ketemu laki-laki seperti di cerita-cerita?"
"Memangnya, lo mau ketemu yang seperti apa?" tanya Bayanaka, sembari terkekeh pelan. Tampaknya, ia menertawai ucapanku barusan.
"Laki-laki di cerita fiksi, kadang terlalu perfect. Kalau memang benar di dunia ini nggak ada yang mustahil, aku juga mau. Walaupun nggak sesempurna itu. Misal, baik, perhatian ... ya, pokoknya gitu, deh!"
"Gue akan coba," balasnya.
Keningku mengernyit mendengar itu, "Coba apa?"
"Jadi, cowok di cerita fiksi seperti ... tipe lo?"
"Bisa aja, kamu." Tawaku mengudara saat itu juga. Lelucon yang menurutku lucu, Bayanaka pun sama tawanya, hingga netranya di balik kaca mata kian menyipit.
"Eh? Tapi ... izin Bundaku dulu, ya? Soalnya jarang keluar malam, apa lagi sama teman lelaki."
"Oke, apa perlu gue yang izin?"
Aku reflek menggeleng kuat, "Nggak usah! Nanti, kalau dikasih izin, aku kabarin."
Saking asyiknya kami berbincang, Bayanaka hampir lurus terus jika aku tak menahannya dan berbalik untuk masuk ke dalam kelas. Syukurlah, gemercik air hujan dari pagi kini sudah berhenti. Masih hari yang sama pula, aku dan Mahesa sama sekali belum bertegur sapa.
Pantas langit mendung dari pagi. Sinarnya lagi jealous. Sekelebat ucapan Arjuna muncul dalam benak membuatku teringat kembali. Bahkan untuk sekarang dan seterusnya, aku tak mau mengenakan earphone sebelah kiri bekas menyumpal di telinga laki-laki menyebalkan itu.
"Gue tunggu, An. Serius, kali ini bakalan jadi, nggak seperti kemarin." Bayanaka berucap pelan, sebelum mendahuluiku untuk duduk di bangkunya.
"Ke mana aja sih, lo? Udah waktu istirahat pertama nggak balik lagi. Terus, tadi tinggalin gue juga!" Gadis itu bersungut kesal. Birai menutup bukunya dan mendelik ke arahku.
"Maaf ya, Rai. Aku, cuma lagi bosan aja. Pengin kunjungin perpus juga. Omong-omong, kamu lihat Mahesa?"
"Tadi sih, dia pergi sama ... si, Hana itu. Belum lama. Kenapa?"
"Nggak apa-apa, cuma--"
"An, jawab jujur pertanyaan gue, ya. Lo, dekat sama Mahesa? Kok bisa? Dari kapan dan kenapa? Kan, waktu itu gue bilang, jangan dekatin dia, nanti--
"Rai, ya, gimana nggak dekat. Aku tetanggaan, Bunda bilang, harus berteman sama Mahesa. Katanya, sekarang kami sahabat. Kalau kamu tanya, kok bisa? Ya, bisa. Dari kapan? Semenjak aku sekolah di sini. Kenapa? Karena Mahesa juga manusia. Butuh seseorang. Teman."
Aku menghela pendek, "Memangnya salah? Aku nggak suka kamu selalu bilang gitu. Ikut aku, berteman sama Mahesa."
Birai terdiam sejenak, sebelum membalas ucapanku lagi. "Sorry. Gue terbawa teman-teman sekelas yang jauhin Mahesa. Oke, sekarang gue ikut lo. Gue mau punya banyak teman tanpa membeda-bedakan lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
AUDIRE [✔]
Fanfiction"Sama seperti tujuanku kala itu. Ingin tetap di sisimu. Tapi sepertinya, Tuhan kabul doaku yang ingin pulang untuk tenang. " *** Sering dijadikan bulan-bulanan teman sekelas, dijauhkan, kerap mendapatkan omelan, dan selalu dibanding-bandingkan, mem...