41. Pentas Seni dan Setelahnya

253 74 33
                                    

"Terima! Terima! Terima!"

"Ayo Gantari, terima. Sebagai penutup acara hari ini." suara Pak Rajen yang tak lain adalah guru pembina pentas seni ini, terdengar nyaring sebab menggunakan mic.

Aku di atas panggung bersama teman-teman lain yang ikut menjadi karakter pelangkap. Tetapi, ketika Arjuna telah mengucapkan dialog terakhirnya padaku, ada lemparan sebuah bunga mawar yang masih bertangkai.

Arjuna mengambilnya, kemudian para penonton dari beberapa kelas mulai bersuara meneriaki kami. Aku yakin, Arjuna hanya menuruti kemauan mereka tanpa ada maksud tujuan lain.
Namun hanya untuk sekadar menggapai mawar yang disodorkannya pun, aku merasa skeptis.

"Itu, siapa yang jadi pangeran? Sambil berkata sesuatu dong!" Mataku bergulir pada Hana yang berseru demikian.

Jika saja tanpa ada bunga itu, aku sudah turun panggung dan mengganti kostum yang panasnya minta ampun! Beralih pada Arjuna, ia malah kembali memandangku dengan alis yang terangkat.

"Ayo, bilang apa aja, nanti langsung aku terima, setelah itu turun," ujarku, tentu saja dengan nada berbisik.

Ia mengangguk, tubuhnya tegap kembali. Aktingnya dimulai lagi, "Snow White--"

"Yah! Kok pakai Snow White!"

"Kak, pakai nama asli dong!"

"Ayo Arjuna, nggak apa-apa!"

Terserah apa yang mereka inginkan dan apa yang Arjuna katakan. Yang penting, aku ingin cepat menghilang dari depan penonton sekarang.

Arjuna menghela napasnya, kemudian berkata, "Gantari, yang selalu memancarkan sinarnya, kau bersamaku, aku mencintaimu."

Dialog itu adalah cakap yang digunakan Pangeran ketika Snow White tersadarkan. Namun rasanya ada yang berbeda, ketika Arjuna menyebut namaku beserta artiannya. Walau begitu, tanganku tetap terulur menerima setangkai mawar tersebut.

Semuanya bersorak. Tepukan tangan mendominasi aula. Aku menghela lega. Semuanya tampak merasa puas dengan akting yang dibawakan teman sekelasku. Itu artinya, kami berhasil bukan?

Tirai bergerak menutup pandanganku pada penonton. Tanganku agak gemetar, dan merasa berkeringat. Syukurlah acaranya sudah selesai, tetapi akting Arjuna tampak masih berlanjut.

Ia menahanku yang ingin turun, "Make up lo berantakan, tuh." Tangannya terangkat mengarah pada wajahku, "Eyeliner- nya juga--"

Terpotong. Sebab aku menepis tangannya dengan cepat, "Aku bisa sendiri. Ini, bunganya."

Kening Arjuna mengerut dalam, "Pegang."

"Nggak mau."

"Gue mau lo pegang pemberian gue, An." Arjuna tetap kukuh--kemudian ia berjalan mendahuluiku.

Tiga puluh menit setelah acara selesai, semuanya sudah berganti konsum menjadi seragam seperti biasa. Semuanya berkumpul duduk menjadi satu. Di sebelah Kalingga, sudah ada Birai yang tengah menuang minuman. Sedangkan di sebelah Hana, tentu saja ada Mahesa.

"An! Sini, duduk!" Birai menepuk tempat yang masih tersisa di sebelahnya. Berdekatan dengan Bayanaka.

Aku mengangguk, menghampiri dan berbaur pada mereka. Baru saja membiarkan tubuhku untuk berhenti bergerak, ada seseorang yang menarik bangku-ku dari belakang.

"Ini tempat duduk gue, dekat Bayanaka. Awas," Bukan lain, adalah Arjuna.

"Sini aja, Jun. Lo sih, lama." sahut Abin, sembari melirik Tranggana di sebelah.

"Ngalah-ngalah, biarin aja."

"Ck! Lo tuh, cowok. Ngalah sama perempuan. Kasihan An, dia udah capek banget," ujar Bayanaka, sekilas menoleh padaku.

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang