40. Sisi Mahesa

244 73 12
                                    

"Apa sih, mau kamu sebenarnya! Saya sebenarnya udah lelah, Agni. Kamu tahu? Kerja keluar kota, ada proyek ini-itu demi keluarga kita. Aku, kamu dan Mahesa. Tapi nyatanya, apa? Bahkan kamu selalu berpikir yang nggak-nggak dengan suami kamu sendiri." Genta menghela napas panjang, sembari mengusap wajah dengan kasar.

"Harusnya aku yang punya pikiran seperti itu." lanjut lelaki paruh baya tersebut.

Agni angkat suara, "Maksud kamu, aku yang nggak benar?"

"Ya ... ntahlah. Buktinya, dulu kamu--"

"Berhenti bahas yang udah lalu, Genta. Itu semua udah nggak ada! Semua itu nggak perlu dibahas! Selesai. Sekarang ya sekarang. Kita, berdua."

"Lantas, kalau hanya kita berdua, Mahesa kamu anggap apa?" tanya Genta.

"Dia juga anak kamu, Agni. Anak aku juga."

Laki-laki itu menghela sekali lagi. Dari raut wajahnya, Genta tampak kusut tak sumringah. Padahal, hari ini ia baru saja pulang ke rumah setelah ada pekerjaan di luar kota.

Napas Agni terdengar menderu. Selama beberapa detik wanita satu itu terdiam. Menyaring segala ucapan Genta yang masuk dalam indra pendengarannya.

"Jayen, bukan--"

Sudah lebih dulu Genta memotong perkataannya, "Agni! Kapan kamu menyadari kalau semua perlakuan kamu selama ini pada Mahesa, sering kali buat dia sakit hati."

"Aku memang jarang berbincang dengan anak itu. Tapi, apa kamu sama sekali nggak pernah menaruh perhatian atau memperhatikan dia sekali pun? Iya?"

"Aku perhatian. Aku daftarkan Mahesa les, biar dapat prestasi di sekolahnya." jawab Agni.

"Apa alasannya? Biar Mahesa sama seperti Adiknya dulu? Agni, itu bukannya buat Mahesa semakit giat dan bersemangat, tapi malah membuatnya tertekan. Karena kamu? Kamu terus-terusan banding-bandingkan Mahesa, bahkan dengan seseorang yang sudah kembali."

"Selama ini aku diam, bukan berarti aku setuju atas perlakuan kamu pada Mahesa." tegas Genta.

Agni masih tak mau kalah, "Harusnya kamu senang, Jayen jadi contoh untuk anak itu."

"Berhenti sebut nama Jayen. Dia sudah tenang di sana. Di sini, urusan kita. Nggak ada sangkut-pautnya sama Jayendra Chaankya. Biarkan dia bahagia di sana, tanpa sedih karena melihat saudaranya nggak baik-baik aja."

"Genta? Jayen itu, anak kamu--"

"Iya, Jayen. Jayendra Chaanakya memang anakku. Tapi, meskipun Mahesa--"

"Ayah?"

Mulut Genta mengatup saat itu juga, ketika suara panggilan menyeruak dalam telinganya. Kedua orang dewasa itu menoleh bersamaan, mendapatkan sosok Mahesa yang berdiri memperhatikan dari jarak lima belas meter.

Agni memalingkan wajah dengan cepat, berbeda dengan Genta yang melambaikan tangannya, memerintahkan Mahesa untuk mendekat.

Dari sana remaja lelaki itu tersenyum sumringah, melangkah cepat mendekat pada sang Ayah.

"Lihat, ya itu Mahesa. Keluar dari jam tujuh malam, jam segini baru pulang." tutur Agni.

"Habis dari mana aja kamu? Main sama brandalan?" tanya Agni setengah mencibir.

"Agni, berhenti." Genta mengalihkan pandangannya lagi, tertuju pada Mahesa.

Sedangkan Mahesa sendiri, hanya diam tak menjawab sepatah kata pun. "Mahesa, kamu nggak cek ponsel? Ayah kirim pesan, waktu jalan pulang."

"Ayah juga kirim pesan dari kemarin-kemarin, tapi kamu selalu nggak aktif."

Sebelum Mahesa menjawab, Agni melayangkan tatapan tajam ke arahnya. Namun dengan begitu, ia tetap menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh sang Ayah.

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang