14. Lembar Pertama

311 90 18
                                    

Suara bisikannya menyeruak dalam rungu. Aku masih terpaku dalam hentinya langkah di sebelah Mahesa. Kami berdiri di depan gerbang rumah, saat seorang wanita baru saja turun dari taxi yang berhenti tepat di depan kediaman Mahesa.

Tidak bertanya, jelas aku langsung menebak, bahwa itu adalah Ibu-nya. Dilihat dari cara berpakaiannya, wanita itu tampak masih muda.

"An, cepat pergi," lagi, Mahesa berbisik di dekat telingaku.

Selepas kendaraan beroda empat itu melaju pergi, Ibu-nya memandang ke arah kami berdua. Mahesa merundukkan kepalanya, tetapi tidak denganku yang kembali menatap wanita tersebut. Pandangan kami bertemu, tak lama setelahnya ia bersuara.

"Mahesa, kamu habis dari mana?" Pertanyaan terdengar sangat jelas. Ibu-nya Mahesa dengan rambut sebahu berwarna hitam kecokelatan, alisnya yang tampak tebal, mengingatkanku pada pemeran antagonis yang selalu muncul dalam sinetron.

Kurasa Mahesa menyenggol lenganku, ia melirik ke arah depan, seolah menyuruhku untuk segera melangkah lebih dekat agar masuk ke dalam rumah. Namun, aku tetap kekeh, menanggapinya dengan gelengan kuat.

"Itu ... kami habis berkunjung ke pasar malam yang ada di blok E. Mahesa nggak kenapa-kenapa, kok. Tante nggak perlu khawatir." Senyuman tipis kulemparkan untuk Ibu Mahesa. Tetapi wanita itu hanya manggut-manggut dengan ekspresi sinisnya. Ck, seperti Ibu tiri, serius.

"Bagus. Ayo, Mahesa. Masuk ke dalam. Udaranya dingin, nanti kamu sakit."

Wow ... penurunan terdengar lembut, selembut kain sutra. Apakah, Ibu-nya tak menyadari, bahwa setiap suara bentakan yang terucap, terdengar sampai rumah sebelah. Aku tersenyum masam, kemudian melambaikan tangan pada mereka. Berusaha menahan tawa, saat menilik pada raut wajah Ibu -nya ketika melihatku masuk ke dalam rumah sebelah.

From Gantari
To Mahesa

Cerita sama aku|
kalau ada apa-apa|

***

Mahesa berjalan di belakang Agni, sang Ibu. Suara sepatu hak mendominasi saat wanita berusia tiga puluh delapan tahun itu melangkah dengan tergesa. Kemudian, menjatuhkan tubuh ringkihnya pada sofa yang berada di ruang tamu.

Anak laki-laki itu tidak tega melihat sang Ibu yang tengah mengatur napas sembari memijat kepalanya. Sesekali Agni memejamkan mata, menetralkan pikiran yang selama ini selalu terngiang dalam benak.

Mahesa tergerak, ia mengambilkan segelas air putih untuk Agni--dan langsung diterima tanpa basa-basi. Hal sedikit itu pun, berhasil membuat hati kecil Mahesa terenyuh karena senang. Bahkan, Agni tak langsung bertanya-tanya tentangnya yang keluar malam atau pun memarahi, seperti apa yang sudah dipikirkan Mahesa.

"Taruh semua ini di kamar saya. Sekalian, beresin tempat tidurnya. Capek, pengin cepat-cepat istirahat." Agni meletakkan tas dan sepatu hak-nya di lantai.

Mahesa segera menuruti apa yang diperintahkan. Ia membawa tas dan sepatu bermerk itu di kedua tangannya. Membuka pintu kamar dengan hati-hati, sebelum akhirnya menghela napas lega.

Padahal, satu rumah. Tapi rasanya sudah lama sekali Mahesa tak berkunjung di kamar yang sekarang ia pijak.

Tempat ini, bukanlah kamar sesungguhnya milik Agni dan Genta. Melainkan, milik Jayen sang bungsu yang sudah tiada. Katanya, mereka selalu akan mengenang Jayen sampai kapan pun itu. Membiarkan kamarnya sendiri berpindah menjadi tempat meletakkan barang-barang yang lumayan berharga.

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang