36. Tujuan Hidup

229 75 13
                                    

"Keren banget, Rang!" seru Kalingga, sembari memberikan tepuk tangan.

Tranggana mengangguk sembari melirik seseorang di sebelahnya, "Yoi. Siapa dulu, kaptennya!" Ia menarik Arjuna dan merangkul. Namun ditepis oleh lelaki itu, sebab akan meneguk minum.

Suasana yang tadinya ramai perlahan mulai memudar. Satu per satu siswa-siswi yang berdiri untuk menonton mulai meninggalkan lapangan dan kembali ke kelasnya.

Sedangkan aku sendiri? Ya, Birai dan Hana sama saja. Mereka menahanku. Katanya, lebih baik di sini, dengan alasan cari angin.

"Ck! Lo nggak beliin air buat gue?" tanya Arjuna pada Abin.

Si ketua kelas itu malah menoleh padaku, "Nggak. Itu, si Gantari yang beliin. Iya, nggak An?"

"Hah?"

Apa-apaan. Bahkan, aku tidak berniat untuk itu. Kepikiran pun, sama sekali tidak. Pandangan Arjuna tertuju pada kedua tanganku yang memegang sebotol mineral masih utuh. Satunya lagi, sudah ku minum sampai sisa setengah.

Arjuna mengenyeritkan kening. Tiba-tiba Hana menyenggol lenganku sambil berkata, "Kasih aja, An. Masih segel juga, kan? Kasihan tuh, dia, udah kehausan." ucapannya dengan nada berbisik.

Ya, terus? Memangnya aku peduli?!

"Ya ... yaudah, nih!" Aku mengulurkan tangan kanan memberikan air minum itu.

Kasihan.

Bukannya langsung menerima, Arjuna malah menatapku dengan netra tajamnya. Aku tahu dia ragu. Sudah dikasihani, masih saja tidak tahu diri. "Mau nggak? Kalau nggak mau, ya--"

Lelaki itu menarik dengan cepat hingga membuat langkahku ikut maju, sedikit. Arjuna dengan peluh yang masih mengucur di area pelipisnya tampak antusias menerima air mineral pemberianku. Bahkan dengan satu kali tegukkan, berhasil menyisakan setengahnya.

"Bin, ini udah ada angin tapi kok rasanya tetap panas, ya?!" Tranggana mengipasi wajahnya sendiri dengan tangan.

Kalingga menimpali, "Iya, nih. Lo ngerasa banget, kan, Bay?" katanya, dengan penuh penekanan.

"Bukan panas lagi, gosong kayaknya!" Tawa Abin mengudara.

"Gue duluan, sebentar lagi bel masuk. Lo ganti baju dulu kan, Jun? Ayo, An?"

Bayanaka sempat menyembut namaku. Aku jadi mengalihkan pandangan ke arahnya. Tanpa ba-bi-bu lagi, mengangguk tanda setuju dan berjalan di belakang lelaki itu.

Samar-samar, dapat kudengar suara Birai, "An aja nih, yang diajak balik ke kelas? Kok gue nggak. Padahal kan, satu kelas?"

"Biasa, orang lagi anu...." ujar Tranggana.

"Tuh, kan! Udah aku bilang, Bayanaka sama Gantari itu memang cocok!" Hana ... gadis satu itu benar-benar minta dijambak rambutnya.

"Nggak usah ditanggapi, An. Orang nggak jelas. By the way, lo duluan aja. Gue mau ketemu teman di kelas sebelah."

"Oh? Iya-iya."

Kedua kakiku melangkah dengan derap yang cepat, ingin segera kembali ke dalam kelas. Hm, lebih tepatnya, bertemu dengan seseorang yang beberapa waktu lalu memberikan secarik surat, dengan tulisan yang menurutku benar-benar lucu.

Sesampainya di sana, kulihat suasana kelas lumayan ramai. Teman-teman yang lain berbincang bersama circle-nya masing-masing di setiap barisan.

Hanya ada satu orang di meja belakang yang tampak menelungkupkan kepalanya. Siapa lagi, jika bukan Mahesa yang menghilang tiba-tiba saat menonton pertandingan basket tadi.

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang