"Serius lo nggak pernah pacaran?"
"Udah berapa kali sih, aku bilang. Nggak!"
Aku menghela napas panjang. Birai, gadis di sebelahku ini sudah mempertanyakan hal barusan yang kedua kalinya. Saat ini, kami duduk di sisi lapangan, sedang beristirahat di sela ekstrakurikuler basket.
Sebenarnya, ada segerombol siswi seangkatan atau bahkan adik kelas di sebelah kanan, namun aku enggan mendekat untuk menjadi satu. Meskipun Birai, sedari tadi memaksa.
Hari ini, kedua kalinya aku mengikuti ekstrakurikuler basket. Niat setelah pulang sekolah sengaja ingin diam di rumah, tiba-tiba Birai menjemputku. Lebih parahnya lagi, Bunda Rinai malah mengatakan; 'Wah, bagus, ikut ekskul basket. Sana berangkat, biar nggak di rumah terus. Besok Mama beliin sepatu buat ekskul'.
Ya, begitu.
Birai mendekatkan wajahnya padaku, meneliti setiap inci membuat aku reflek mundur. Ia mengerutkan kening dalam. Kemudian kembali menjauh seraya mengibaskan tangannya, "Bohong amat! Gue nggak percaya. Secara,lo kan ... ah, di kelas aja cowok-cowok kayaknya pada naksir deh, meski nggak bilang terang-terangan."
"Rai--"
"Lo udah lumayan lama kan, di sini. Sebentar lagi ujian semester satu. Masa lo nggak sadar, sih! Banyak tahu, yang pengin dekat sama lo. Apa lagi, gengnya Arjuna?"
"Kata siapa?" cibirku, sembari menutup botol minum.
"Kata gue, lah! Mereka pasti selalu cari gara-gara, terutama si Juna, tuh. Tranggana sama Kai sering ngeledek gitu, kan? Si Abin juga ikut-ikutan. Nah, gue lihat-lihat kayaknya lo dekat ya, sama Bayanaka. Tadi aja--"
Aku menepuk lengannya, berhasil membuat Birai mengatup, "Ya, wajar aja, Rai? Kita semua kan satu kelas. Kita udah jadi teman. Kecuali memang Arjuna, paling nyebelin. Kalau Bayanaka ... menurutku, biasa aja. Nggak terlalu dekat, nggak jauh juga."
Memberi jeda, melirik malas pada Birai. Dengan satu tarikan napas, "Yang terlalu jauh itu pikiran kamu."
"Tapi An ... oke. Gue bilang dari sekarang, lo harus tahu, kalau suka sama teman sekelas tuh nggak banget! Bayangin, nanti misal lo ketahuan suka dia, atau ada yang suka sama lo. Pasti bakal diejek habis-habisan, meski pakai label bercanda, tetap aja nyebelin!"
Terkekeh pelan mendengar itu. Birai berkata panjang dengan mimik wajahnya yang terlihat berubah. Tampaknya, ia sendiri sudah mengalami yang namanya saling suka, yang bukan hanya sekadar suka, dengan teman sekelas.
Lagi pula, itu adalah hal yang tidak mungkin, untukku. Bahkan, sebelum atau sesudah pindah sekolah, aku sama sekali tak berpikiran sampai situ. Apa lagi masalah menjalin hubungan? Ah, hanya sekadar teman atau ... sahabat. Tidak lebih.
"Semuanya! Ayo kumpul lagi!" Suara teriakan dari tengah lapangan menginterupsi.
Tranggana melambaikan tangannya dari sana. Kami, aku dan Birai sama-sama beranjak berdiri. Tetapi ketika sampai di hadapan si Ketua ekstrakurikuler dan Pak Atma yang menjadi coach, kita semua diperintahkan untuk duduk membuat lingkaran.
Sebelah kiri ada Birai, dan sebelah kananku yang kosong tiba-tiba di sela oleh lelaki dengan bandana hitam di keningnya. Arjuna duduk bergitu saja, membuatku reflek menggeser pada Birai.
"An, geseran, sebelah lo masih lega," Birai menolak. Mendorongku untuk memberi ruang agar tak terlalu berhimpitan.
"Duduk di samping gue, nggak akan buat lo jantungan," Arjuna berceletuk.
Aku terpaksa bergeser, lebih dekat di sebelahnya. Garis bawahi, terpaksa!***
Dari pulang sekolah sampai sekarang jam sudah menunjukkan pukul setengah empat sore, yang dilakukan oleh oknum bersama Mahesa adalah berbaring di atas tempat tidurnya. Bukan karena malas, atau pun ingin leha-leha. Saat ini, Mahesa hanya ingin beristirahat sejenak, dengan tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
AUDIRE [✔]
Fanfiction"Sama seperti tujuanku kala itu. Ingin tetap di sisimu. Tapi sepertinya, Tuhan kabul doaku yang ingin pulang untuk tenang. " *** Sering dijadikan bulan-bulanan teman sekelas, dijauhkan, kerap mendapatkan omelan, dan selalu dibanding-bandingkan, mem...