12. Bukan Sekadar Teman

310 91 8
                                    

"Hari ini Ibu mau temenin Jayen ambil rapot, kamu sendiri aja. Kamu kan, Kakak. Jangan banyak komentar, kasihan Adikmu."

"Bu, tapi harus diwakilkan sama orangtua, Ayah kan juga pergi. Kalau Ibu sama Jay--"

"Kamu sudah Ibu titipkan ke Mama-nya Hana."

"Hari ini, lauk makannya mau pakai apa?"

"Aku mau ayam goreng."

"Aku juga mau ayam. Tapi dibuat sup. Bukan ayam goreng."

"Tunggu ya, Ibu masak sup hari ini."

"Kenapa cuma Jayen yang boleh masuk klub sepak bola? Mahesa juga mau. Mahesa mau punya teman selain Hana."

"Nggak usah ikut-ikutan Mahesa. Biarkan Jayen melakukan hal yang dia sukai. Kamu cukup belajar, belajar, dan belajar. Supaya dapat ranking satu. Nggak pernah, kan? Contoh Adikmu itu."

"Study tour-nya nggak wajib. Mahesa, kamu harus ngalah sama Jayen. Biarin Jayen yang ikut. Sesekali lah, buat dia senang. Dia Adikmu. Sana, bilang ke wali kelas kamu, kalau kamu nggak bisa ikut."

"Tapi Bu--"

"Mahesa, kamu paham tidak? Keuangan kita sedang menipis. Kalau kalian dua-duanya ikut, besoknya cuma bisa makan pagi."

"Harusnya biar Mahesa yang ikut klub sepak bola. Lihat, Bu. Jayen memaksakan, sampai penyakitnya kambuh lagi. Dia kecapekan, dia--"

"Kamu itu nggak tahu apa-apa, nggak usah ikut campur."

"Jayen! Kamu di sayang banyak orang, kamu nggak boleh pergi...."

Mahesa mengembuskan napas berat. Bayangan masa lalu kini terlintas lagi dalam benaknya. Begitu tampak jelas, sampai matanya terasa panas akan ingatan tersebut. Sekarang, mari kita tengok. Sedikit demi sedikit, bagaimana Mahesa dan dan kilas baliknya.

Jayen. Satu nama yang selalu Mahesa ingat. Setiap malam sebelum tidur, atau bahkan setiap selesai beribadah, Mahesa selalu mengirimkan doa untuk Adiknya.

Bohong jika dulu Mahesa tidak pernah merasa iri pada Jayen. Justru, itu dirasakannya tiap kali Agni atau pun Genta lebih mementingkan saudaranya. Jayen.

Kala itu, yang Mahesa tahu; sebagai Kakak ia harus mengalah setiap saat untuk sang Adik.

Mahesa, sama sekali tak pernah membenci walaupun sering merasa iri. Baginya, kesenangan Jayen adalah kesenangannya juga. Meski bahagia dalam artian melihat. Bukan menerima.

Seharusnya, sebagai Kakak, Mahesa bisa menjaga Jayen. Tidak membiarkannya makan mie rebus keseringan, melarangnya untuk berhenti ikut sepak bola karena membutuhkan fisik yang kuat. Menemaninya ketika koma di rumah sakit. Dan itu, sama sekali tidak pernah ia lakukan.

Karena apa? Sebab, Agni dan Genta begitu keras. Yang Agni dan Genta mau, Mahesa cukup diam di rumah. Belajar, belajar dan belajar. Biarkan mereka berdua yang menemani Jayen, biarkan mereka berdua yang membuat Jayen bahagia saat sakitnya kembali lagi.

Padahal, Mahesa juga bagian dari keluarganya, bukan?

"Makanya, lo harus dapat ranking satu, Kak. Nggak mau kan kena omel Ibu terus? Kasihan sih, tapi gue nggak bisa apa-apa. Bantu doa aja. Semangat!"

Sudut bibir Mahesa terangkat, ketika tangannya meraba foto berbingkai berukuran sedang. Ucapan Jayen kala itu benar-benar tertanam dalam pikiran. Jayendra Chaanakya. Mahesa benar-benar merindukan sosok itu. Bersamaan dengan rasa sakit yang menjalar.

3 missed call...

1 unread message

Gantari

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang