Kami, aku dan Mahesa, berjalan cepat menapaki lantai koridor. Lengannya kupegang dengan erat, agar ia tak memberontak, meski sesekali ku mendengar Mahesa mendesis meminta untuk dilepaskan.
Di sini sekarang. Aku membawanya di tepi lapangan sekolah yang ditanami beberapa pepohonan. Syukurlah, ada bangku panjang untuk tempat duduk.
"Kamu tunggu sini. Jangan ke mana-mana." perintahku pada Mahesa. Anak laki-laki itu hanya menghela napas pelan, kemudian duduk--aku melempar asal bukunya hingga mendarat di pangkuan.
Mahesa, aku tidak marah. Aku hanya kesal.
Meninggalkan Mahesa yang duduk sendirian, kemudian kupercepat langkah menuju sebuah koperasi yang tampak di dikerubungi beberapa siswa-siswi. Mungkin kalian tahu, untuk membeli apa aku datang kemari.
"Maaf, lama. Antre," ucapku sesudah duduk di sebelah Mahesa.
"Sini bukunya, aku benerin." Sengaja menadahkan tangan, lalu Mahesa menurut dan memberikan buku bersampulnya yang sudah rusak. Oh, kasihan. Mengapa anak-anak itu seperti tak punya perasaan untuk Mahesa?
Untuk yang ke berapa kalinya aku bertanya. Memangnya Mahesa punya masalah apa?
"Terima kasih," Mahesa berucap pelan, namun itu terdengar jelas kependengaran.
"Makanya, jangan mau digituin! Lihat, buku kamu, rusak. Kamu sering kasih contekan ke mereka, ya?"
Mahesa dengan polosnya mengangguk, dan itu membuatku mendengkus samar. Hei? Apa yang ada dalam benaknya? Mengapa ia terlalu gampang dimanfaatkan.
Benar-benar tidak habis pikir. Baru dua hari aku mencoba dekat dengan Mahesa, tetapi ia sudah berhasil membuatku beberapa kali mengelus dada.
"Mulai hari ini, jangan mau. Jangan turutin apa kata mereka. Ini kan, hasil dari usaha kamu yang kerjain sendiri. Arjuna sama teman-temannya cuma mau enaknya aja."
Anak laki-laki itu bergeming.
"Mahesa, kamu dengar aku nggak?"
Kemudian menoleh, "Iya."
Sabar.
"Jangan iya-iya aja. Ngomong yang banyak. Memangnya kosa kata kamu cuma; iya, maaf dan terima kasih?"
"Maaf, kita belum terlalu kenal dekat," ujarnya, membalas pernyataanku.
Aku lantas menoleh ke arah lain, untuk mengembuskan napas berat. Mahesa ... entahlah. Aku sendiri pun belum mengerti."Kata siapa? Ini kita duduk berdua. Dekat, kan? Pantas aja di kelas pada jauhin, kamunya--"
"Memang sudah sepantasnya begitu," balas Mahesa, kini pandangannya menatap kosong ke arah depan.
"Tapi aku nggak mau jauhin kamu," sumpah, bisa-bisanya aku berkata alay seperti itu. "Maksudnya aku nggak bakalan jadi--anu? Apa, nggak kayak anak-anak yang lain. Karena sekarang kita teman!" Aku mengulurkan tangan ke arahnya.
Selama beberapa detik Mahesa menatap tanganku yang terulur. Aku mendekatkannya, tangan Mahesa dari samping sudah bergerak, tetapi terlihat ragu-ragu.
Lamban. Tidak sabar, aku menarik lengan satunya itu dengan tangan kiri. Saat itu pula, kami saling berjabat. Mahesa tampak gugup, lalu pandangannya beralih pada wajahku. Lagi, kami berkontak mata.
Sesuatu yang menyebabkan degup jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya, sudut bibir Mahesa terangkat, tersenyum simpul, meski tak sepenuhnya melengkung.
"Ng--Mahesa, itu--" dengan halus aku mencoba melepaskan jabatan tangan kami. Menelan saliva, menatap ke bawah pada sepasang sepatu hitam yang kukenakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
AUDIRE [✔]
Fanfiction"Sama seperti tujuanku kala itu. Ingin tetap di sisimu. Tapi sepertinya, Tuhan kabul doaku yang ingin pulang untuk tenang. " *** Sering dijadikan bulan-bulanan teman sekelas, dijauhkan, kerap mendapatkan omelan, dan selalu dibanding-bandingkan, mem...