13. Dari Mahesa untuk Gantari

319 94 23
                                    

Sekarang, kami sudah berada di tempat yang dituju. Ternyata memang benar-benar ramai. Yang berkunjung bukan hanya warga komplek, namun ada juga orang dari luar dan pedagang yang jualan bermacam-macam makanan.

Udara dingin kota Bandung malam hari semakin terasa. Sepoy-sepoy anginnya menemani langkahku dan Mahesa berkeliling mencari tempat apa lagi yang ingin dihampiri. Sudah hampir lima belas menit, dan melupakan apa yang diucapkan oleh Mahesa di jalan tadi.

Biarlah. Biarkan aku tak perlu mengetahui apa maksudnya anak laki-laki itu bicara demikian. Sudah dibilang, Mahesa itu orang yang susah ditebak. Terkadang, sesekali aku dibuat terkejut akan tingkahnya sendiri.

"Kamu nggak capek?" Pertanyaannya membuat langkah tertahan.

Mahesa mengeluarkan kedua tangannya dari dalam saku depan hoodie--kemudian, satu jarinya menunjuk sebuah tempat di mana terdapat sebuah bangku panjang untuk duduk. Aku paham, lalu kami ke sana. Di depan itu, ada pedagang minuman, aku dan Mahesa sama-sama memesan rasa yang sama. Mangga.

"Kamu nggak bertanya apa maksud ucapan aku di jalan?" Saat itu juga, aku hampir tersedak mendengarnya.

Meletakkan jus mangga di sebelah, menoleh pada Mahesa yang memasang raut wajah biasa saja. "Ya ... aku mau nanya. Tapi, sepertinya--"

"Maksud aku," Mahesa menyela, ia tampak menarik napas dan mengembuskan secara perlahan, "Maaf, aku kelepasan bilang seperti itu. Nggak tahu diri, ya? Bahkan, aku bilang; aku mau lebih dari itu."

"Ah, nggak kok. Nggak apa-apa kali. Aku kan juga belum tahu maksud lebih- nya itu apa? Kamu bisa jelasin, kan?"

Mahesa tak segera menjawab, laki-laki itu malah menyandarkan punggungnya, dengan kepala yang agak mendongak ke atas. Bergeming, Mahesa mengembuskan napasnya berkali-kali sembari memandangi langit malam di atas sana.

Aku meliriknya sekilas. Sialnya, ternyata ia juga sedang menoleh ke arahku. Lagi, pandangan kami terkunci karena itu.

"Jangan dipikirin." Begitu katanya.

"Apa?"

"Barusan. Yang aku ucap."

"Ya ... gimana? Makanya, kamu jelasin. Biar aku paham dan nggak bertanya-tanya lagi."

Mahesa merubah posisinya menjadi duduk seperti biasa. Dengan posisi menyerong menghadap ke arahku, Mahesa masih terdiam membuat rasa ingin tahu semakin besar, sampai mengerutkan kening sebagai kode.

"Beneran mau tahu?" Aku mengangguk sekali lagi. "Jangan marah ya, An...."

"Nggak, Mahesa. Aku nggak bakal marah. Serius."

"Janji?"

"Iya. Janji!" Menunjukkan jari kelingking pada anak laki-laki itu, tetapi Mahesa pun tak menanggapi. Aku pun bingung. Ya, maaf. Reflek.

"Sebelumnya, terima kasih sudah mau menjadi teman, An. Kamu baik, aku suka."

Mahesa ... rasanya aku ingin menyembunyikan air muka yang entah sudah tampak seperti apa.

"Maksud aku, kamu baik. Bukan hanya aku yang suka. Teman-teman di sekolah juga sepertinya sama."

"Langsung ke intinya aja." Omong-omong, jantungku sudah berdetak tak karuan. Begitu berpikir terlalu jauh tentang apa yang ingin dilontarkan oleh Mahesa.

"An, kalau aku bilang ... kita jadi teman lebih dekat lagi, apa kamu mau?"

"Hah?"

"Maaf, nggak ada pengulangan."

Saat itu juga, aku tak bisa menahan tawa. Mahesa menatapku dengan ekspresi penuh tanda tanya. Lucu. Lucu sekali. Mahesa mengucapkan kalimatnya begitu terdengar serius, juga air mukanya. Selain selalu membuat terkejut, Mahesa juga lama-lama sering menimbulkan tawa walau dirinya hanya bergeming, kaku tak bereaksi lagi.

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang