02. Hanya Dia

521 108 6
                                    

Ternyata bukan hanya di Jakarta saja ya, yang mempunyai sekolah bernuansa mewah dan memiliki banyak gedung berserta anak tangga yang panjang nan banyak. Aku menghela napas lega, saat sudah berada di depan tempat yang aku tuju.

Perpustakaan, yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya. Selama tiga minggu ini, aku hanya belajar di kelas, pergi ke toilet, ke kantin bersama Birai, dan belum menentukan ingin mengikuti ekstrakurikuler apa.

Decitan pintu terdengar, sebab aku mendorongnya agar terbuka. Untuk yang pertama, derapku tertuju pada seorang wanita berkacamata yang duduk sembari membuka lembaran-lembaran buku.

"Isi di sini, ya." Wanita itu menyodorkan sebuah buku padaku, berserta bolpoinnya. Aku mulai menuliskan daftar kunjungan perpustakaan.

Saling melempar senyum tipis, kemudian berjalan ke arah rak yang dipenuhi buku-buku tebal.

Jangan ditanya Birai ke mana. Jelas, ia tidak mau diajak ke tempat seperti ini. Katanya sih, membosankan, sepi, ya ... tidak seenak di kantin, deh!

"Lho? Kamu di sini?" tegurku, pada seorang laki-laki yang tengah duduk, dengan sebuah buku di hadapannya.

Mahesa menoleh dan mengangkat alis. Lalu kembali pada buku bacaannya. Hm ... ia sangat persis seperti tokoh-tokoh cowok cool di novel yang sering aku baca. Tapi kalau Mahesa, lebih ke pendiam, sekali.

"Biasanya juga di kelas sendiri," aku
bergumam sangat pelan.

Setelah mendapatkan buku yang dicari-cari, aku memilih untuk duduk di tempat yang agak jauh dari laki-laki yang aku tegur namun tak menyahut, barusan. Serius, kita tetanggaan. Tetapi sepertinya, Mahesa tidak tahu kalau aku dan keluarga yang menempati rumah sebelah.

Sekali lagi aku mengatakan; pantas saja dia seperti dijauhkan oleh teman-teman di kelas. Toh, lihat. Sikapnya saja seperti itu.

Drrtt!!!

Bunyi ponsel membuatku hampir terperanjat. Reflek menutup buku, dan merunduk saat beberapa insan di satu ruangan ini menoleh curiga menatapku.

Nama Birai, tertera di layar ponsel.

"Kenapa, Rai? Aku lagi baca buku, kamu ganggu banget!" pekikku, tertahan.

"Sini dong, ke kantin. Please! Bacanya di sini aja nggak apa-apa. Gue sendirian kayak jomblo." Suara Birai menyeruak dalam rungu.

"Kamu kan emang jomblo."

"Ya, maksud--"

"Yaudah! Aku ke sana. Sebentar."

Mengangkat buku dan beranjak bangun, kemudian keluar dari bangku. Masa bodo, lagi pula tak ada yang peduli bukan, aku datang ke perpustakaan atau tidak. Dari kejauhan, aku hanya melihat Mahesa yang tiba-tiba melirik ke arahku, tetapi 0,5 detik kemudian, mengalihkan pandangannya lagi.

Dengan langkah yang sedikit cepat, menuruni anak tangga satu per satu untuk menuju kantin. Saat memasuki area yang banyak di tempati murid-murid lain di setiap mejanya, netraku menangkap sosok Birai yang tengah melambaikan tangan.

Mengembuskan napas berat, merotasikan bola mata menatap Birai.

"An, mau pesan apa, nih? Biar gue bayarin. Lo tau kan, gue--"

"Gue habis dikasih motor sama bapak." Aku tertawa, mengikuti gaya bicara Birai. Sumpah, sudah lebih dari tiga kali dia mengatakan itu.

"Nah. Yaudah pesan," Birai mengulang ucapannya, lalu menyesap es jeruk yang sisa setengah.

Mengangkat tangan, pada bibi kantin yang tak jauh dari tempatku duduk. "Mie goreng, pakai telur, ya! Mie-nya, setengah matang aja, pakai kuah sedikit."

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang