45. Menjauh dan Selesai

221 72 7
                                    

Hana mendesis, ia menatap dengan intens, "Kamu belum jawab pertanyaanku."

"Pertanyaan?"

Ia mengangguk, "Iya. Mahesa kenapa?"

"Barusan kamu tutup mata atau gimana? Jelas-jelas kamu juga lihat sendiri, sesak napasnya kambuh."

"Aku tahu. Aku lihat. Tapi itu pasti karena kamu." tukasnya, penuh penekanan. "Waktu sama aku Mahesa nggak kenapa-kenapa. Waktu nggak ada kamu pun, Mahesa baik-baik aja. Lihat, bahkan baru sebentar sama kamu, Mahesa udah seperti itu." lanjutnya, sembari menarik napas.

Hana masih belum menyelesaikan kalimatnya, "Kamu kasih tahu ke Mahesa, kalau Tante Agni menyuruh kamu untuk jauhin dia?"

Aku menggeleng akan pernyataan itu.

"Bagus. Pagi tadi kan, aku udah bilang. Jauhin Mahesa. Tapi apa? Nggak, kan? Coba aja kalau benar-benar nurut kata-kata itu. Mahesa nggak bakalan kenapa-kenapa dan Tante Agni nggak akan semakin marah sama kamu, An."

Gadis itu masih sama seperti kemarin. Ia selalu mengatakan hal yang serupa persis diikuti dengan menyebutkan Ibu-nya Mahesa. Pikirnya, itu adalah kelemahanku sekarang. Hanasta, bahkan sikapnya sangat berbeda dari pertama aku melihat dan mengenalnya.

Tanpa ragu, kujawab penuturan itu tidak mau kalah, "Kamu harus tahu, dari pagi bahkan sampai detik ini, aku berusaha untuk menjaga jarak dari Mahesa. Mahesa sendiri yang mengejar dan mendekat. Kamu nggak bisa menyalahkan aku terus."

"Apalagi sampai memberitahu Ibunya, kalau aku penyebab Mahesa masuk UKS dan bolos pelajaran. Karena itu nggak benar--"

Hana memotong ucapanku, "Telanjur. Aku udah kasih tahu Tante Agni kalau Mahesa kambuh dan bolos pelajaran--itu semua gara-gara kamu." Ia berkata dengan sangat enteng.

"Hanasta--"

"An, nggak ada yang susah. Kamu cukup menjauh dari Mahesa, dan selesai."

Sepenggal percakapan itu terekam jelas dalam benakku. Sewaktu keluar dari UKS mengantar Mahesa, Hana tiba-tiba menemuiku secara empat mata di koridor sekolah dan berkata demikian. Kalimat terakhir yang ia lontarkan, benar-benar terngiang di kepala.

Waktu kembali ke kelas pun, tidak fokus dengan materi yang sedang dijelaskan. Hingga mata pelajaran terakhir di mulai, batang hidung Mahesa bahkan belum kelihatan.

Bagaimana keadaan? Dia pasti baik-baik saja, kan? Mahesa bilang, dia kuat. Katanya....

"An, ayo!" seruan tertahan dari orang di sebelah membuatku tergelak. Birai sudah berdiri sembari membereskan alat tulis--kemudian menyandang ranselnya.

Ia menatapku dengan alis terangkat ke atas, "Mikirin apaan, sih?"

"Nggak mikirin apa-apa," setelahnya aku ikut beranjak bangun dan melakukan apa yang dilakukan oleh Birai. Lalu kami melangkah bersama-sama untuk keluar kelas.

Sebelum itu, sempat
berdorong-dorongan dengan anak-anak yang lain. Kebanyakan dari mereka, sekolah hanya ingin mendapatkan uang saku, jajan istirahat dan bermain dengan teman-teman, lalu menunggu bunyi bel pulang berdering.

Bersamaan dengan langkah yang terus mengayun, atensiku dan Birai sama-sama teralihkan pada sosok lelaki yang hendak masuk ke dalam kelas. Dari jarak lima meter, juga ada Arjuna dan kawan-kawannya.

Di ambang pintu, reflek aku mundur guna menepi, memberikan Mahesa jalan masuk lebih luas. Manik hitamku berotasi ke arah lain--menghindar dari tatapan Mahesa yang kulihat dari ekor mata, lelaki itu tampak memperhatikanku.

"Eh, Mahesa, hari ini lo ada jadwal piket, jangan pulang dulu. Minggu-minggu kemarin juga udah jarang piket," ujar Abin, selaku ketua kelas.

Tranggana mendelik sinis, "Iya, nanti dicatat namanya, terus dilaporin."

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang