54. Dekapan Dari Ayah

345 73 7
                                    

Dua hari kemudian ... setelah dua hari itu aku tak sempat ke rumah sakit untuk melihat keadaannya. Jika ditanya kenapa? Tentu, aku ingin menguatkan perasaan sejenak. Dalam dua hari itu di ambang kebingungan, sampai akhirnya saat ini aku memberanikan--datang seorang diri tanpa Bayanaka maupun Arjuna.

Bertepatan sekali, dengan kabar Mahesa sudah pulih.

Mahesa akan segera pulang. Hari ini juga.

"Bagus."

Satu kata itu membuat kami--aku dan Mahesa tersentak mendengarnya. Bagaimana tidak? Kedatanganku dari sekolah ke rumah sakit untuk memberikan beberapa lembar kertas ulangan harian milik Mahesa dari berbagai mata pelajaran. Ia mendapatkan nilai di atas rata-rata, dan ... seharusnya pun Ibunya memberikan respon yang lebih juga.

Wanita itu kembali meletakkan lembaran kertas tersebut setelah melihatnya. Sedangkan Mahesa, kulihat raut wajahnya berubah seketika.

"Kamu hebat Mahesa, bahkan nilainya Bayanaka di bawahmu! Senang, nggak?"

Lelaki yang tengah duduk di atas brankar itu menoleh pada wanita yang tampak acuh tak acuh. Ibunya sedari tadi sibuk dengan ponsel. Mahesa mendelik, kemudian berucap pelan.

Bibir pucatnya terbuka, tatapan sayunya tertuju pada wanita di sofa, "Ibu senang?"

Tante Agni berhasil menoleh, namun ia tak membalasnya dengan apa pun. Malah beranjak bangun dari duduknya, tanpa mengatakan apa-apa lagi pada kami, ia keluar begitu saja.

"An ... aku memang nggak bisa buat Ibu senang," suaranya yang lirih itu membuat atensiku teralih.
Mahesa menatap kosong ke depan, wajah pucatnya tak menunjukkan ekspresi apa pun setelah itu.

Helaan napasku menderu, "Kamu tahu kenapa Ibu keluar barusan?"

"Lagi-lagi marah denganku."

"Bukan. Sebenarnya Ibu senang, tapi dia enggan menunjukkan. Percaya?"

Mahesa memejamkan mata sejenak. Lalu ia menoleh ke arahku, "Iya, terima kasih."

Prakata darinya mampu membuat sudut bibirku terangkat. Akhirnya, sosok ini, yang sedari kemarin ku tunggu kabar baiknya, "Terima kasih juga."

Mahesa mengerutkan kening, "Untuk?"

"Sudah pulih."

Anak lelaki itu mengulas senyum tipis, "An."

"Iya?"

"Nanti temani aku, ya?"

"Ke mana?" tanyaku.

Tangan kananku menarik kursi di belakang, mendekatkannya kemudian duduk di dekat brankar. Mahesa perlahan terdengar mengembuskan napasnya, ia membaringkan tubuhnya dengan hati-hati.

Sesaat sudah terbaring sempurna, pandangannya tertuju pada langit-langit ruangan. Meski parau, suaranya tetap menyeruak di indra pendengaranku, "Keluar dari ruangan ini, ke taman belakang rumah sakit."

"Sebelum pulang," katanya, sambil menoleh ke arahku.

"Kalau begitu sekalian nanti aja, setelah pulang. Di taman komplek. Kita belum pernah ke sana, kan?"

Namun ia malah menggelengkan kepalanya, "Jangan. Takut nanti nggak sempat--maksudnya, nanti Ibuku...."

Mahesa menggantungkan ucapannya. Ah, aku memahami saat itu juga. Mungkin yang ia maksud, nanti Ibunya akan memerintahkan dirinya beristirahat setelah pulang dari rumah sakit. Akhirnya aku mengangguk, menyanggupi apa yang ia inginkan.

Anak lelaki itu mengerjapkan matanya beberapa kali, tangannya terankat memegangi kepalanya sendiri. Lantas, aku mencondongkan tubuhnya untuk lebih dekat dan bertanya, "Kenapa?"

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang