46. Kita yang Tersekat

203 68 13
                                    

Keesokan harinya, kembali seperti semula. Namun dengan cuaca yang lumayan terik pagi ini, sudah kudengar beberapa teman sekelas mengeluh karena akan berlangsungnya pelajaran olahraga.

Langkahku bersamaan dengan Birai, setelah ke toilet perempuan untuk mengganti seragam. Di tengah lorong kelas sebelas yang lumayan sepi, Birai berceletuk, "Lo tahu nggak sih, An. Kemarin kan ya, gue habis antar sepupu beli makanan di jalan Siliwangi, yang ada tempat les gitu dipinggirannya."

Penuturan Birai yang terjeda, membuat otakku mencernanya secara perlahan. Ada yang menurutku tidak asing dengan apa yang diucapnya.

"Terus, gue nggak sengaja lihat Mahesa, keluar dari tempat itu. Gue baru tahu, ternyata dia les di situ--"

"Iya, aku tahu dari lama. Terus apa poin pentingnya, Rai?" Sengaja kupotong perkataannya.

Birai menghela, tak sadar kaki kami sama-sama melangkah masuk ke dalam kelas. Sembari memasukkan seragam sebelumnya ke dalam tas, Birai membalas lagi, "Ya, nggak penting-penting banget, sih. Tapi dilihat-lihat, kasihan deh si Mahesa."

Ia baru menyadari hal itu.

Aku terdiam, tak ingin membahas tentangnya, lebih panjang.

"Lo juga, kan, An? Terus gimana? Apa lo tetap ikutin apa kata Ibunya Mahesa atau Hana? Jujur aja, An, sebelum lo datang ke sini, gue yang selalu perhatikan teman-teman sekelas termasuk Mahesa meski nggak banyak, gue lihat anak itu seperti nggak pernah nyaman ada di kelas ini."

"Waktu itu kan, pikiran gue; kalau bantu atau dekat-dekat sama Mahesa, pasti akan kena akibatnya. Tapi setelah datangnya lo di sini, terus berteman sama Mahesa, teman-teman kelihatannya jarang ganggu anak pendiam itu. Karena itu, Mahesa nggak mau lo jauh dari dia, An." Birai memaparkannya dengan jelas.

Embusan napasku keluar, bersamaan dengan langkah yang kembali meninggalkan kelas untuk menuju lapangan di mana teman-teman sudah membuat barisan.

"Jangan dibahas lagi, Rai," pelanku, sambil mendelik ke arah depan.

Berdiri bercampur menjadi satu barisan, kepalaku menoleh ke belakang, mendapatkan sosok Mahesa yang sudah berdiri tegap. Peluhnya sudah mengucur di area pelipis, bahkan sebelum pemanasan dimulai.

Setelahnya, dengan cepat kualihkan pandangan sebelum pandangan kami bertemu. Dalam benakku, sekelebat bayangan terlewat. Kala itu, di mana aku belum mengenal Mahesa--kemudian membawanya ke UKS saat teman-teman yang lain tak ada yang mempedulikannya.

Kuharap, dalam jadwal mata pelajaran olahraga kali ini, Mahesa tidak kenapa-kenapa.

Pak Atma datang, memimpin pemanasan di depan. Selama kurang lebih sepuluh menit, akhirnya selesai. Lalu, guru lelaki itu memerintahkan kami semua untuk mengelilingi lapangan sebanyak tiga kali.

"Yang benar dong, Pak! Lapangannya luas nih, bisa tepar kita sebelum materinya dimulai!" Komentar perempuan berambut tergerai, yang berdiri tak jauh di depanku.

Mulai dari itu, beberapa juga ikut berkomentar. Hingga Pak Atma lelah sendiri mendengarkannya--kemudian mengalah.

"Ya sudah, dua kali! Lari santai aja." Bunyi peluit terdengar, kami sekelas IPA   4 mengitari lapangan sebanyak dua kali di bawah teriknya matahari.

Namun belum ada setengah putaran, orang yang paling depan yang tak lain Abinawa memberhentikan gerakannya secara tiba-tiba, sesaat telinganya menangkap suara orang terjatuh di barisan belakang. Semuanya lantas berbalik badan termasuk aku, melihat siapa oknum tersebut.

Tentu, siapa lagi kalau bukan Mahesa Naradipta.

Bukannya segera menolong Pak Atma yang tengah membantu Mahesa untuk berdiri, teman-teman termasuk Arjuna dkk malah berbincang sambil memperhatikannya dari kejauhan.

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang