24. Status Asmatikus

280 76 8
                                    

Dengan jantung berpacu cepat, langkahku mengiringi Ayah dan Bunda yang berjalan di depanku bersama derap tergesa. Mengikuti di mana seorang remaja lelaki yang kini sudah didorong dan dibawa di atas brankar rumah sakit. Bersama dengan sebuah uap yang menyalur di hidungnya yang masih berembus walau terdengar sesak.

Sekilas kuceritakan sebelum sampai di tempat dengan bau obat-obatan menyengat ini. Beberapa menit yang lalu, saat aku sedang membereskan kamar setelah pulang sekolah, ponsel yang kuletakkan di atas nakas bergetar dengan dering lumayan nyaring.

Nama Mahesa tertera, sebelumnya aku mengernyit bingung sebab tak biasanya ia menelepon. Diangkatnya sambungan tersebut, suara lelaki itu terdengar.

Pelan dan teramat lirih, berhasil membuatku terlonjak lari keluar kamar sampai Bunda dan Ayah yang sedang berbincang jadi terkejut sekaligus bertanya-tanya.

Ayah Heksa dan Bunda Rinai mengikutiku untuk menghampiri Mahesa di kediamannya. Rumah besar bertingkat itu terlihat sepi, bahkan saat kami masuk tidak ada suara apa-apa selain suara derap sendiri.

Mencari Mahesa di setiap sudut, hingga terakhir menemukannya di dalam kamar. Terduduk di bawah kasurnya, dengan sebuah alat berada di genggaman yang tak lagi menguat.

Saat itu juga, aku, Ayah dan Bunda membawanya dengan cepat ke rumah sakit. Bahkan, saking khawatirnya, kami belum sempat mengabari orangtuanya yang entah ada di mana.

"Berdering, tapi belum diangkat juga, Bun," ujar Ayah, pada Bunda. Mereka sedang berusaha menghubungi, dari ponsel Mahesa yang kuberikan.

Bunda menghela napas pendek, menarik lenganku untuk duduk di sebelahnya. Bukan apa, sebelumnya aku tidak pernah melalui hal-hal seperti ini. Bunda merangkul bahuku, memberikan tepukan pelan seolah menenangkan.

"Kamu tahu, Mahesa punya penyakit apa?" tanya Bunda Rinai.

"Tahu, asma. Waktu itu, Mahesa juga sempat seperti ini pas jam pelajaran olahraga. Aku juga yang bawa dia ke UKS. Terus ... Mahesa minta tolong ambilkan barang yang tadi di tangannya itu." Kembali merunduk, jemariku saling bertaut. Sembari menunggu Ayah yang masih mencoba menghubungi Ibu Mahesa.

Samar-samar suara sambungan dari orang di seberang sana terdengar. Ayah memberikan ponselnya pada Bunda. Tetapi Bunda menggeleng, malah meleparnya kepadaku. Saat itu aku yang bicara. Wanita di sana terdengar biasa saja.

"Tolong ke sini, Mahesa--"

"Ya, nanti. Saya masih ada urusan. Telepon Ayah-nya saja dulu. Kirim alamat rumah sakitnya lewat pesan. Kapan ke sananya, saya nggak tahu."

"Tapi--"

"Terima kasih. Saya tutup."

Bunda menekuk alis seakan bertanya apa respon dari seseorang yang bercakap denganku barusan. Bunda dan Ayah menggelengkan kepalanya tak mengerti. Mengapa orangtuanya tidak tampak khawatir dengan kondisi anak sendiri.

Selama lima belas menit kami di luar ruangan. Sampai akhirnya, seorang dokter keluar untuk memanggil. Aku dan Bunda lantas beridiri, mengikuti apa kata dokter untuk membicarakan tentang Mahesa.

Di ruangan berudara dingin, kami, aku dan Bunda duduk di hadapannya.

"Orangtuanya?"

"Ah, bukan. Saya, tetangganya. Kebetulan, kita memang dekat," jawab Bunda.

"Baik, dari hasil yang didapat, putra bernama Mahesa itu memiliki riwayat asma. Sebelumnya, apa kalian tahu aktivitas apa saja yang dilakukan Mahesa?"

"A-aku. Setahuku, Mahesa sering, turut--eh maksudnya, dia sering beres-beres rumah, mungkin hampir setiap hari, setelah pulang sekolah. Kalau malam, Mahesa bilang dia selalu belajar, bahkan sampai larut."

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang