52. Kehendak Tuhan(?)

314 70 13
                                    

Nomor yang anda tuju, sedang tidak dapat menerima panggilan.

Nomor yang anda tuju, sedang tidak dapat menerima panggilan.

"Bun, kenapa nggak aktif?!" Tanganku bergerak di atas layar ponsel. Menghubungi satu persatu orang-orang di kontakku.

Bahkan sampai layar ponselku susah untuk digeser, sebab rintikan hujan yang membasahi, "Birai, Bayanaka juga. Kenapa? Kalian semua kenapa, sih?!"

Terakhir, tanganku yang masih bergetar mengklik nama dalam urutan pertama di daftar kontak. Arjuna. Harapan terakhirku.

"Ar-juna...."

"An?"

"Tolong ke sini. Di jalan raya depan pemakaman Nawasena. Mahesa--"

"An, jangan ke mana-mana. Gue dan teman-teman datang secepatnya. Bilang sama Mahesa, bertahan sebentar. Dia laki-laki, kan? Gue bakalan datang, An, tung--"

Saat Arjuna belum menyelesaikan kalimatnya, ponselku mati karena habis baterai. Aku ingin menangis sejadinya, tetapi ketika melihat keadaan Mahesa sekarang, bahkan ia jauh lebih menyedihkan. Melihatnya saja, sudah membuatku terhenyak.

Sakit.

"An...." lirihan itu.

Aku membantunya untuk duduk, tapi yang ada, Mahesa malah terhuyung dan berakhir bersandar pada bahuku. Bodoh, itu yang kuucapkan sedari tadi untuk diriku sendiri. Lihat, bahkan payung di sana kubiarkan begitu saja. Coba jika dibawa, setidaknya Mahesa tidak lagi terkena guyuran hujan.

Tanganku tergerak untuk membuka ranselnya yang basah. Mencari-cari sebuah benda yang selalu Mahesa bawa kala itu.

"Nggak kuat ... napasku sesak, An."

Segala kalimat yang terlontar dengan lirih itu semakin membuatku juga ikut meraskan sesaknya. Mahesa masih memegangi dadanya sendiri, sedangkan aku sibuk merogoh-rogoh tasnya mencari salbutamol yang selalu ia bawa.

Namun aku tak kunjung menemukannya. Saat itu juga, tubuhku rasanya ikut melemas.

"Tarik napas pelan-pelan, Mahesa. Tenang." Wajah pucat itu menatapku bersama kedua mata yang tak terbuka dengan sempurna.

Seandainya ini adalah sebuah mimpi, siapa pun tolong sadarkanku. Mahesa semakin merosot, bahkan kepalanya tak lagi bersandar pada bahuku. Napasnya tersengal-sengal, hingga lelaki itu menarik paksa kerah seragamnya sampai terbuka lebih lebar.

Aku tidak tahu harus melakukan apa, selain menunggu Arjuna yang katanya akan segera datang.

"An, jang ... an me-nangis...." Mahesa dengan tangan kananya mengusap wajahku yang basah karena air hujan juga air mata, yang bercampur menjadi satu.

"Maaf, Mahesa. Seharusnya--"

"Kalau sudah kehendak Tuhan ... tidak ada yang bisa merubahnya, An."

"Termasuk ... tentang hari esok. Entah aku masih ada sisimu atau...." masih dengan napas tersengal, nyatanya ia tak bisa melanjutkan ucapan itu. Sebab, kedua matanya sudah tertutup tanpa celah, bersamaan dengan sorot lampu kendaraan dan segerombol orang-orang.

Kepala Mahesa jatuh pada pangkuanku. Sosok lelaki tinggi nan tegap keluar dari mobil tanpa sebuah payung di tangannya, "An, gue nggak telat, kan?"

Aku hanya bisa menggeleng lemah. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Arjuna, Tranggana dan Abin membantuku dan Mahesa, untuk masuk ke dalam mobil, menuju rumah sakit.

***

"Mahesa nggak kenapa-kenapa," entah sudah yang keberapa kalinya, Tranggana melontarkan kalimat itu.

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang