08. Hubungan Istimewa

338 99 13
                                    

"Akhirnya, kamu pulang juga. Ibu tunggu dari tadi, ya kan, Yah? Kami udah beli banyak makanan. Kamu ganti baju dulu gih, nanti langsung ke sini, ya."

Saat baru saja memasuki rumahnya, Mahesa dibuat terkejut akan sambutan dari Agni yang terdengar lembut. Wanita itu sama sekali tak menunjukkan raut wajah garang nan tatapan intensnya. Tentu saja, membuat Mahesa mengerutkan kening. Walau dalam hatinya ia terenyuh, dan merasa bahagia.

Mahesa melirik ke arah Genta, sang Ayah yang juga ikut melemparkan senyum tipis ke arahnya.

Setelah naik ke atas dan berganti pakaian, ia kembali turun ke meja makan menghampiri ke dua orangtua. Sudah ada beberapa lauk pauk di atas meja. Piring dan gelas yang tersusun rapi, juga nasi putih yang terlihat baru matang dan hangat.

"Kamu mau makan apa? Ibu ambilkan," Agni mengangkat satu piring. Tanpa menunggu jawaban dari sang anak yang masih bergeming, wanita itu meletakkan ayam goreng di atas nasi putih.

"Ibu tau, aku suka ayam goreng." Mahesa  berucap pelan, tiba-tiba Genta menyambarnya.

"Tau, dong. Masa kesukaan anak sendiri nggak tau."

"Habiskan, makan yang banyak. Nambah juga kalau bisa," Agni menyodorkan piring yang sudah terisi penuh itu ke hadapan Mahesa.

Rasanya ... serius, tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Sebab saking senangnya, rasa harsa kini membuat Mahesa terasa tenang. Suasana baru--tidak, ini memamg bukan yang pertama kali. Namun tetap saja rasanya berbeda.

Kala itu, memang Mahesa sering ikut makan bersama di meja makan. Bersama Agni sang Ibu, dan Ayahnya, Genta. Satu lagi, Jayen sang adik.

Di meja makan ini lah, Mahesa yang sering menatanya. Membawa lauk pauk beserta piring-piring. Di meja makan ini juga, terkadang Agni dan Genta sibuk berbincang dengan Jayen, tanpa menghiraukan Mahesa yang juga ingin masuk dalam pembahasan.

Mungkin mulai sekarang, seterusnya akan seperti ini. Itu adalah harapan Mahesa.

Mau sebagaimana atau berapa banyak kebahagiaan yang didapatkan, jika bukan dari keluarga sendiri, rasanya bukanlah seperti demikian.

"Yah, habis ini kita keluar, yuk? Mahesa, kamu mau pergi ke mana?" tanya Agni.

"Di rumah bareng Ayah dan Ibu, udah cukup," jawab anak laki-laki itu.

"Nggak seru dong, kalau di rumah aja. Kita keliling kota Jakarta. Nanti ampir ke mall, restaurant, dan tempat-tempat yang lain."

Untuk mengatakan 'tidak mau' ternyata adalah hal yang sulit Mahesa ucapkan. Agni pun setuju akan usulan Genta. Kemudian satu keluarga yang beranggotakan tiga orang tersebut, bersiap-siap.

Mahesa duduk di kursi belakang, Agni dan Genta di kursi kemudi. Selama perjalanan, Ayah dan Ibunya itu sama-sama tak berhenti melontarkan ucapan. Sesekali tawanya mengudara. Menciptakan sudut bibir Mahesa terangkat membentuk senyum simpul.

"Kamu sudah kelas sebelas semester dua, ya? Anak Ibu udah besar. Nggak terasa."

"Oh ya, Mahesa. Kamu di sekolah ikut ekstrakurikuler apa?"

Ia menggeleng pelan, Genta meliriknya dari cermin panjang yang tergantung. "Nggak apa. Itu keputusan sendiri. Kamu juga ada asma, nanti kalau kecapekan bisa kumat. Bahaya."

"Ya, nggak apa-apa lah, fokus belajar aja." sahut Agni.

"Kemarin kamu dapat ranking berapa?" Genta melontarkan ucapannya lagi.

Mahesa lantas menjawab, "Dua."

"Bagus, bagus. Tapi lebih bagus lagi dapat ranking satu seperti Jayen. Selalu seperti itu dari kelas tujuh sampai sepuluh."

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang