07. Ketidaksengajaan

368 101 11
                                    

"Udah?" tanyaku saat Mahesa baru saja keluar dari toilet, selesai membersihkan seragamnya.

Memang, tidak sekotor pertama, tetapi tetap saja, berbekas dan kurang enak dilihat. Ia hanya mengangguk, kemudian kami berjalan dengan langkah sejajar melewati koridor yang masih ramai.

"Nanti ada pelajaran Bu Anka, dia kan guru BK kelas 11. Arjuna sama teman-temannya bakal aku laporin. Mereka udah keterlaluan. Terus--"

"Jangan." Mahesa memotong ucapanku, sembari menghentikan langkah.

"Kenapa? Pasti ini bukan yang pertama kalinya, kan?"

"Tranggana dan Kalingga bilang, mereka nggak sengaja. Nggak apa-apa. Sa-aku, juga nggak kenapa-kenapa." Seseorang dihadapanku ini masih kekeh untuk melarang agar aku tak melakukan apa yang diucap barusan.

Mahesa menatapku, sorot matanya tampak sayu. Aku hanya bisa menghela napas pasrah, lalu mengangguk. "Ya, nggak. Makanya kamu bergerak, jangan diam aja."

Mendengkus malas, lalu melanjutkan langkah lebih cepat meninggalkan Mahesa. Serius, dalam satu hari geng Arjuna itu sudah membuat Mahesa kesusahan. Tak bisa dibayangkan, bagaimana hari-hari sebelumnya sebelum aku datang sebagai anak baru dan menjadi temannya.

Terdengar derap langkah Mahesa semakin cepat. Enggan menoleh, tetapi sepertinya ia berusaha mensejajarkan langkanya lagi denganku.

Sampai di ambang pintu kelas, aku terdiam sejenak. Ada Kalingga yang duduk di atas meja sebelah tempat dudukku. Menunggu Mahesa, kami bersamaan memasuki kelas yang terasa pengap. Sebelum Mahesa menuju mejanya di barisan belakang, aku menahannya.

"Sebentar." Membuka ransel dengan cepat, mengeluarkan sebuah jaket berwarna hitam yang selalu kubawa dalam tas.

Aku menyodorkannya pada Mahesa, "Pakai. Biar seragam kotornya nggak kelihatan."

"Ini." Menyodorkannya lebih dekat, membuat Mahesa akhirnya menanggapi.

Tetapi seruan dari belakang, berhasil membuatku menoleh. Suara Kalingga menyeruak dalam rungu, disusul oleh beberapa teman yang lain.

"Harusnya cowok yang kasih pinjam jaket ke cewek. Terbalik, tuh!" ucapannya, mengundang gelak tawa beberapa siswa.

"Lah, dari kemarin juga terbalik. Mungkin mereka tukeran raga kali."

Brakk!

Sengaja aku menggebrakan meja, membuat Mahesa tersentak kecil, juga siswa-siswi yang reflek menutup mulut.

"Memangnya ada yang salah kalau aku kasih pinjam jaket ke Mahesa? Apa urusannya sama kalian?" tanyaku, dengan satu tarikan napas, menahan emosi. Maklum, yang setiap bulan datang, sudah tiba.

"Urusannya apa? Ya, ada lah Gantari. Kita tuh, sebenarnya peduli sama kamu. Mending kamu jauh-jauh deh, dari dia." Siswi berambut kuncir kuda, melirik seseorang di sebelahku, Mahesa.

"Benar, tuh. Mau-mau aja sih, temenan sama anak haram. Penyakitan lagi. Awas nanti nular," sahut laki-laki berkacamata, tanpa melihat kearahku. Sebab, ia sibuk dengan tontonan di ponselnya.

"Eh, bukan gue lho ya, yang bicara." Kalingga meloncat turun dari atas meja, lalu menghampiri Abin dan Bayanaka yang duduk di barisan kanan paling pojok.

Menoleh pada Mahesa, sama seperti sebelum-sebelumnya, ia tidak bisa mengatakan apa pun. Malah, Mahesa hendak menyodorkan kembali jaket yang sudah kuberikan.

"Jangan didengar. Anggap aja angin lalu. Jangan lepas jaketnya sampai pulang sekolah nanti." tegasku.

"Benar kata mereka. Mending kamu jauh-jauh dari aku," Mahesa dengan gampangnya berbicara demikian.

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang