48. Si Bimasena

208 63 16
                                    

"Mahesa! Aku juga nggak mau seperti ini terus."

Lelaki itu menghentikan langkah. Sejenak, aku merunduk dengan memegang kedua lutut sebagai tumpuan. Di lorong sekolah yang cukup terbilang sepi--aku berhasil mengejarnya sampai sini dari perpustakaan.

Kedua netraku memicing, melihat Mahesa mulai berbalik badan. Dari jarak yang lumayan jauh, Mahesa menatap datar ke depan. Mulutku rasanya terkunci, namun kedua kaki kembali tegap dan melangkah mendekati.

"Ulang," satu kata itu terlontar darinya.

"Aku juga nggak mau seperti ini terus."

Alisnya terangkat, dahinya kian mengerut ketika rentetan kalimat itu kuulangi, "Tapi kenapa menjauh?" tanyanya, dengan suara pelan.

Pertanyaan itu tak kujawab dengan segera. Tiga menit, kami sama-sama menutup mulut menikmati keheningan. Atmosfer rasanya semakin menipis, meski semilir angin menampar wajahku beberap kali. Sampai akhirnya suara berat itu terdengar lagi.

Mahesa kembali menanyakan, "Kenapa, An?"

"Kamu nggak perlu tahu," entah, hanya itu yang ada dalam benakku, selain mengatakan yang sebenarnya

"Aku harus tahu. Alasan buruk sekalipun, aku tetap menerimanya," ujar lelaki itu, sembari membuang pandangan ke samping.

Helaan napasnya terdengar. Sejujurnya aku merasa tidak tega akan hal tersebut. Mahesa masih menatap ke arah lain, sampai akhirnya kulontarkan kalimat yang kembali membuatnya menoleh padaku, dengan raut wajah terkejut.

"Ibu, nggak suka lihat aku dekat dengan kamu. Gara-gara aku, kamu jadi seperti hari-hari kemarin," Mahesa memasang raut wajah, seolah bertanya; kenapa?

Ia menggeleng, mungkin tidak percaya akan hal itu, "Seharusnya, Ibu nggak seperti itu." gumamnya.

"Tapi kenyataannya--mungkin Tante Agni hanya mau yang terbaik untuk kamu, dengan cara menjauhkan aku--"

Mahesa menyela lebih cepat, "Gimana bisa dengan cara itu akan menjadi lebih baik, sedangkan kamu sendiri, yang terbaik...." ia menggantungkan ucapannya.

Kemudian melanjutkan dengan satu kata, "Untukku."

"Mahesa--"

"Kamu nggak usah dengar apa kata Ibuku. Kita tetap berteman. Selamanya. Jangan pergi. Jangan menghindar-hindar lagi." Mahesa memaparkan itu dengan penuh penekanan. Tatapannya semakin dalam, tampak ada sesuatu yang tersirat.

Saat itu juga, lidahku kelu untuk berkata lagi. Kami sama-sama di ambang kebingungan. Apa lagi, hampir setiap hari aku mendapatkan Hana yang selalu memperingati agar menjauh dari Mahesa.

Demi apa pun. Mengenal sosok di depanku ini, bukanlah sebuah penyesalan. Meski setiap saat, aku juga ikut merasakan, sakit yang ia rasakan. Sejak itu, aku ingin membuatnya bahagia. Agar bahagia bersama-sama juga.

Mahesa Naradipta ... kita akan terus berteman, selamanya, bukan?

"Kamu meragukan ucapanku?" Ah, ia seperti cenayang yang bisa membaca pikiran.

"Sedikit."

"Meskipun nggak selamanya, aku akan berusaha untuk itu," Mahesa berkata pelan.

"Iya, semoga," lirihku.

Bukannya tidak percaya apa yang diucap oleh seorang teman. Hanya saja, penuturan itu seperti--tak sebaiknya benar-benar dipercayai sepenuhnya. Netraku bergulir, hingga menemukan manik hitam itu--melirik ke setiap inci wajahnya, sampai merasakan hangat yang menyelimuti.

Ketika ... Mahesa tersenyum simpul.

"Terima kasih."

Ia menepuk pelan pucuk kepalaku.

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang