16. Larut dan Tenggelam

290 91 8
                                    

"Iya, serius. Aku cuma lihat Mahesa keluar kelas, habis itu nggak kelihatan lagi. Hari ini dia cuekin aku."

Kami berjalan beriringan melewati koridor kelas sebelas yang lumayan ramai. Berpapasan oleh beberapa siswa-siswi yang baru saja keluar dari kelasnya masing-masing. Kami. Ya, aku, Birai, Bayanaka dan si laki-laki yang sempat adu mulut denganku di kantin sewaktu istirahat tadi.

Tujuan kami bukanlah untuk apa-apa, melainkan hanya mengumpulkan hasil karangan yang ditugaskan oleh Bu Anka beberapa hari yang lalu. Di ruangan dekat koperasi, di dalam aula sana tampak ramai.

"Eh, tapi nggak apa-apa kan? Mahesanya nggak ada, nih." ujar Birai, sembari mendelik ke dalam sana.

Arjuna menanggapi apa kata Birai dengan mencibir, "Ck! Nyesal gue. Tuh anak cuma bisa nyusahin. Seenggaknya bilang, kalau pulang duluan."

"Nggak masalah. Yang penting punya kita jadi, kan?"

Aku mengangguk setuju mendengar pernyataan dari Bayanaka. Aku akui, laki-laki selalu menjadi penengah dan amat damai. Bayanaka benar-benar berbeda dengan keempat temannya. Baik, lembut dan penuh pengertian.

Bayanaka juga, yang masuk ke dalam aula guna menyerahkan amplop berisi kertas pada Bu Anka. Sekitar sepuluh menit baru anak laki-laki itu kembali keluar. Sebab, banyak juga murid lain melakukan hal sama seperti kami. Sebenarnya, aku tidak berharap karangan kelompok yang kami buat berjejer dalam barisan pemenang. Namun jika iya, tentu aku bersyukur.

Dua orang di hadapanku ini sama-sama bersedekap dada. Omong-omong tentang Arjuna, ya, kami biasa saja. Laki-laki itu selalu memasang wajah dingin nan garangnya semenjak jam pelajaran setelah istirahat. Biarkan perkataanku terdengar tajam. Sampai Arjuna menyadari sendiri.

"By the way, An. Lo kan udah lumayan lama di sini. Nggak ada niatan ikut ekstrakurikuler gitu? Kalau ada, bareng, yuk? Tahun ini gue niat, deh. Kelas 10 kemarin benar-benar nggak ikut apa-apa." Birai mengangkat alisnya.

"Memangnya ada yang buka pendaftaran ekstrakurikuler? Aku mau aja, cuma masih bingung ikut apa," balasku, sembari mengehela napas panjang.

Niat dari dalam hati memang sudah ada, tetapi untuk memilih mengikuti ekstrakurikuler apa sama sekali tak ada tujuan. Di sekolah lama, sebelumnya aku tidak pernah ikut-ikut hal seperti itu.

Birai manggut-manggut, selang beberapa detik kemudian suara sapaan menyeruak dalam rungu. Kami bertiga menoleh bersamaan. Mendapatkan Abin, Kalingga dan Tranggana yang baru datang. Sudah pasti, mereka juga sama akan mengumpulkan karangan yang dibuat.

"Lama, lo." celetuk Arjuna.

Tranggana mendecih pelan, "Lah, si Abin, tuh. Kata gue juga dari tadi. Tapi masih nanti-nanti dulu. Nggak percaya diri kalau cerita yang gue buat tuh keren dan anti mainstream!"

Sontak, Kalingga yang mendengar penuturannya dengan sengaja menoyor kepala Tranggana dengan hari telunjuknya. "Apa? Cerita lo dari Hongkong! Kelompok lah, anjir. Lo bagian bilang 'iya-iya' aja kalau si Abin kasih saran. Ya, kan, Bin?"

"Lo juga gitu, kalau lo lupa." imbuh Abinawa, berhasil membuat Kalingga menelan salivanya seraya menoleh ke arah lain.

"Gimana, Bay? Udah, kan? Gue duluan. Ayo, Rang. Hari ini ada latihan buat lusa," Arjuna berucap demikian pada Tranggana. Namun, yang kulihat, laki-laki bertubuh tegap itu malah mengedikkan bahunya.

"Lah, apaan?" tanya Tranggana.

"Basket. Lusa ada turnamen."

Saat itu juga, Tranggana menepuk keningnya sendiri, "Lah, iya! Bisa-bisanya gue lupa. Ayo, lah! Let's go!"

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang