27. Bayang dan Sinarnya

222 73 7
                                    

"Kamu kapan pulang?" tanyaku pada laki-laki yang tengah duduk bersandar pada sofa. Masih di ruangan tempat Mahesa dirawat, ia baru saja menyelesaikan suapan bubur terakhirnya.

Arjuna mendongak dari tatapan yang tadinya pada layar ponsel, "Ya, lo lah. Kapan mau balik?"

Aku termangu untuk beberapa saat. Kemudian menoleh lagi pada Mahesa. Tatapan seolah bertanya; kenapa? Namun dengan gelengan pelan aku menanggapi seraya meletakkan mangkuk bubur yang sudah bersih. Lalu beralih mendekatkan segelas air putih, membantunya untuk minum.

"Terima kasih, An. Lagi-lagi kamu selalu aku buat repot," ujarnya, lirih.

"Udah ah, kamu ngomong itu terus. Kita kan ... sahabat? Ya, harus saling bantu. Aku juga nggak merasa direpotkan. Oh iya, ada salam dari teman kamu. Tadinya, mau ke sini bareng, tapi tiba-tiba Hana nggak bisa datang."

Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum simpul. Mahesa mengangguk pelan, diiringi napas yang terdengar memberat. Dari gerak bibirnya, ia hendak mengatakan sesuatu, tetapi jadi urung sebab kami, termasuk Arjuna menoleh bersamaan ke arah pintu. Di mana suara decitan terdengar, menampakkan seseorang yang mendekat pada kami.

Ibunya Mahesa.

Kulihat Arjuna menurunkan kakinya dengan segera.

"Udah lama?" pertanyaan itu tertuju untukku dan Arjuna.

"I-iya, dari setengah jam yang lalu," aku tersenyum masam. Sesekali melirik Arjuna yang tampak sudah bersiap-siap untuk berdiri.

Ibu-nya Mahesa mengangguk-anggukan kepala. Kini, posisi kami bertukar. Dikubiarkan wanita itu berdiri di sebelah anaknya yang masih terduduk.

"Terima kasih, kalian boleh pergi sekarang."

"Bu, di luar masih hujan," bukan suaraku apa lagi Arjuna. Melainkan Mahesa. Seakan-akan ia menahan, agar kami tidak pergi saat ini juga.

"Lho?" Lagi-lagi aku dibuat bergeming, sebab tangan Ibunya itu mengelus rambut tebal hitam Mahesa. "Kan udah ada Ibu di sini. Nanti mereka dicariin sama orang tuanya. Hujannya juga udah reda, gerimis kecil nggak masalah, kan?" Ia kembali menatapku. Masih dengan tangan yang mengusap-usap pucuk kepala putranya. Terlihat, dengan penuh rasa sayang?

"Ngh? I-ya---"

"Kami pamit. Mahesa, semoga lo cepat ... sembuh." Arjuna berkata pelan di akhir kalimatnya. Sebelum pada akhirnya, ia menarik lenganku, membawa bersama langkah cepat keluar dari ruangan.

Dengan segera kutarik ranselku, walaupun semakin jauh, pandanganku masih ke belakang di mana melihat sosok Mahesa yang menatapku tanpa berkedip. Sejujurnya, aku ingin lebih lama di samping laki-laki itu.

"Lepas. Nggak usah tarik-tarik." Aku menepis kasar tangan Arjuna. Dengan satu kali hentakkan.

Ia melepaskannya, berbalik badan membuat langkahku berhenti sejenak, "Pulang." tukasnya, menatap tajam netraku.

"Ya, tahu! Udah sana, aku bisa pulang sendiri."

Alis tebal Arjuna menekuk hampir bertaut. Laki-laki di hadapanku ini mengembuskan napas panjang--lalu mengusap kasar wajahnya sendiri, "Sama gue. Gimana, sih? Kalau lo bilang bisa pulang sendiri, lebih baik gue pulang dari tadi. Nggak ada yang namanya gue tunggu dan antar lo--"

"Siapa? Aku bahkan nggak minta itu."

Ia berdecak, giginya bergemeletuk, "Ck! Udah, ayo. Gue malas adu omong sama lo terus."

Setelahnya Arjuna berjalan di depan mendahuluiku. Sekali lagi aku menoleh di mana tempat Mahesa dirawat, bersama helaan napas pasrah. Kemudian menyusul laki-laki tadi. Sesampainya di lobi, kulihat awan di atas sedikit lebih cerah. Namun rintik hujannya tak kunjung berhenti.

"Apa?" Aku mengerjap bingung, ketika Arjuna memberikan jaket dan helmnya padaku.

"Buat lo," begitu katanya.

"Ngg--"

"Bilang iya apa susahnya? Masih gerimis. Nanti seragam sama rambut lo basah. Dingin." Ia menyela. Bertutur demikian dengan cepat dan terdengar lugas. Tak banyak omong lagi, aku pun menerima dan memakai pemberiannya. Dirasa sudah siap, kupegang bahu lelaki itu agar lebih mudah naik ke atas motor.

"Jangan ngebut," ujarku.

Arjuna melirik dari kaca spion dan berdeham.

Selama jalan pulang, udara dingin menyerang. Meski aku sudah terbalut jaket kulit milik Arjuna yang lumayan menghangatkan, tetap saja udara dingin menusuk kulit kaki-ku yang terbalut rok selutut. Entah, bagaimana dengan Arjuna sendiri. Tanpa helm, dengan seragam lengan pendek.

Ia mengantarkanku sampai depan rumah tanpa kendala. Aku turun, bersamaan dengan suara dibukanya pintu gerbang yang membuat kami sama-sama menoleh, sedikit terkejut. Ada Bunda menampakkan batang hidungnya. Sudah yakin, aku pasti akan disemprot berbagai pertanyaan. Padahal, sudah sempat mengirimkan pesan untuk izin pergi.

"An, kamu ini. Tadi Bunda sempat khawatir. Tapi sedikit lega karena baca pesan kamu. Tapi khawatir lagi karena hujan barusan." tuturnya.

"Ini siapa? Bayanaka, ya?" Aku menggeleng mendengar itu.

"Bukan, Bun. Yang ini, namanya Arjuna."

"Makasih ya, Arjuna, udah antar Gantari sampai rumah dengan selamat. Mampir dulu, yuk? Nanti Bunda buatin minuman hangat," ujar Bunda pada Arjuna. Dan itu membuatku menggaruk belakang tengkuk, kikuk.

"Sama-sama. Nggak usah Tan, saya mau langsung pulang." Bunda ber'oh' ria tak memaksa. Aku hampir saja tersedak ludah sendiri saat Arjuna mengulurkan tangannya. Menyalimi, dengan punggung tangan Bundaku. Dia....

"Saya pamit, permisi." Arjuna sudah siap menancap gas.

"Jaket ka--"

"Besok aja di sekolah. Duluan."

Melesat dengan cepat. Di menit yang sama Bunda menyenggol lenganku sembari terkekeh pelan. Ya, apa lagi jika bukan meledek. Sebab, katanya aku selalu berganti-ganti lelaki. Kemarin diajak nonton turnamen bersama Bayanaka, sekarang diantar pulang oleh Arjuna.

"Jadi, kamu maunya sama siapa?"

***

"Tapi Bu, Mahesa seharusnya masih tetap di sini. Kurang lebih satu sampai dua harian. Supaya kondisinya benar-benar pulih dan kembali fit."

Agni tetap menggeleng kukuh, "Saya bisa merawat anak ini di rumah dengan baik. Lagi pula, Mahesa juga udah nggak kenapa-kenapa. Iya kan, Nak?"

Mahesa mengangguk walau ragu. Agni sedari tadi berbincang di hadapannya bersama sang dokter perempuan. Ibunya bilang, ia harus pulang hari ini.

Dokter menghela napasnya, "Baik. Nanti saya siapkan obat-obat yang harus diminum. Silakan Ibu urus administrasinya." Agni mengangguk, lalu keluar bersama dengan dokter itu.

Mahesa terpejam sejenak, merasakan denyut di kepalanya. Menatap ke atas, melihat cairan di dalam botol yang sebentar lagi akan habis. Selang infus menempel di punggung tangan kanan. Tangan kirinya terangkat, mengambil ponsel di atas nakas yang diberikan oleh Gantari, sebelum pulang.

Tidak ada apa-apa. Hanya melihat jam menunjukkan pukul empat sore.

Tak lama kemudian Ibu-nya kembali. Agni mendekat pada putranya itu, "Sebentar lagi kita pulang."

"Bu, kata dokter kan--"

"Apa? Tadi kamu jawab iya kan waktu saya tanya nggak kenapa-kenapa? Itu artinya memang harus pulang. Lagi pula mau apa sih, di rumah sakit. Kamu juga nggak apa-apa. Mending besok masuk sekolah, nanti ketinggalan pelajaran. Buang-buang uang aja kamu di sini."

Mahesa cukup terhenyak mendengar itu.

***

To be continued...

Thanks for 550+ viewers

Siders, ayo muncul! Klik bintang di bawah pojok kiri, ya!

Arigatõ 💗










AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang