43. Dipaksa Menjauh

220 73 17
                                    

"Jangan sok tahu."

Arjuna tergelak, ia tertawa samar menanggapinya. Lelaki itu menoleh ke arah lain selama beberapa detik. Lalu kembali padaku, dan berujar, "Nggak usah ditutupin. Terlihat jelas, An."

"Nggak. Aku dan Mahesa sebatas teman dan lebihnya ... sahabat."

"Kalau gitu kenapa tadi keluar? Karena ada Hana, kan? Lo cemburu? Gantari, gue bahkan udah pernah lihat lo berdua pelukan, Mahesa usap kepala lo, atau bahkan ... lo selalu berusaha buat melindunginya." tutur lelaki itu.

"Ya. Karena kita berteman."

Arjuna manggut-manggut, "Teman. Tapi perasaan menolak itu, kan?"

Aku mendengkus pelan--kemudian membalasnya lagi, "Kenapa pembahasannya merujuk ke sana, sih? Kamu nggak tahu apa-apa, Arjuna. Lagi pula mau aku berteman, atau ada hubungan lebih dengan Mahesa, sama sekali nggak ada urusannya sama kamu. Bukannya kamu sendiri, orang yang paling nggak mau ikut campur apa lagi tentang Mahesa. Ya, kan?"

"Tapi diurusan itu sendiri ada lo, Gantari," balasnya.

"Ya, terus kenapa? Apa urusannya sama kamu? Nggak ada."

Arjuna berembus, "Ada. Karena gue...."

"Gue apa?"

Anak laki-laki itu malah mengatup mulutnya. Arjuna merundukkan pandangan menatap sepasang sepatu putih yang dikenakan. Helaan napasku lagi-lagi keluar, ia masih bergeming sedangkan aku sendiri menunggu jawabannya yang menggantung.

"Arjuna--"

"Karena gue juga teman lo." Ia berkata dengan cepat.

Arjuna, aku tahu itu bukan jawaban sebenarnya yang ingin kamu lontarkan. Gerak-geriknya berubah, laki-laki seumuran di hadapanku sekarang kembali berdiam diri.

Langit di atas semakin menggelap. Semilir angin malam dapat kurasakan, dan itu berhasil menusuk kulitku yang terbalut pakaian. Entah sudah menit ke berapa kami di sini. Berdebat, terdiam, berdebat lagi dan terdiam lagi.

Lelah, jujur. Dari hari kemarin rasanya belum ada yang membuatku tertawa lepas.

"Sekarang mau ke mana?" Arjuna melontarkan pertanyaan. "Balik lagi ke dalam? Lihat Mahesa, yang selalu butuh lo?" katanya.

Mendengar nama Mahesa kembali diucap, entahlah hanya saja rasanya ada sesak yang menyeruak. Mengingat kembali bagaimana keadaannya yang selalu tidak baik-baik saja. Aku ingin kembali. Di sana, di sebelahnya. Mengajaknya berbincang, membantunya makan dan melihat senyumnya meski sedikit.

Aku menggeleng. Karena memang tidak bisa. Sebab, ada yang melarang, dan menggantikan posisiku. Boleh kan? Aku menangisi teman sendiri yang dalam keadaan sakit? Sedangkan aku, tidak diperbolehkan untuk berada di sisinya.

"Udah, nanti aja nangisnya. Di rumah. Kalau di sini, nanti gue dikira apa-apain lo," ujar Arjuna. Aku reflek mengusap sudut mata meski belum ada setetes pun air mata yang keluar.

Sebelum ia berjalan mendahuluiku, Arjuna sempat berucap, "Gue bilang dari sekarang, lo harus siap untuk ke depannya."

Keheningan menyelimuti. Entah yang ke berapa kalinya aku berada di atas motor lelaki ini yang sekarang hendak membawaku pulang ke rumah. Bahkan, tampaknya ini benar-benar terlalu awal. Hanya satu jam. 0,1% untukku menemui Mahesa dan memberikan barang bawaan, sisanya berdebat panjang dengan Arjuna.

Sesampainya di rumah Bunda mengernyit bingung. Sengaja kutinggal pergi Arjuna sebelum kami bertiga memulai percakapan lagi. Namun di ambang pintu aku mendengar, Bunda menanyakan sesuatu pada anak lelaki itu.

"Mereka benar-benar nggak mau An ada di sana?"

Aku hanya tersenyum tipis kala Ayah Heksa menyapaku. Setelahnya kembali di tempat semula, menutup pintu kamar dan duduk di tepi ranjang.

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang