55. Pelukan Untuk Mahesa

462 79 27
                                    

Aku menghirup udara segar dari semilir angin yang menerpa. Syukurlah, beberapa menit yang lalu Hana sudah berpamitan karena dihubungi orang tuanya. Ya, aku senang.

Mahesa menatap kosong ke depan, di pangkuannya ia memegang buku diary miliknya yang sempat basah karena kala itu. Meski sekarang sudah mengering, lembarannya tak terlihat mulus lagi. Ah, ada beberapa catatannya yang luntur.

Lelaki itu mengadahkan kepala, menarik napas dalam-dalam hingga berembus perlahan. Sejenak ia terdiam, sebelum pada akhirnya mengalihkan pandang menatapku.

Seperti biasa, "An?" Ia memanggil namaku demikian.

"Sudah lama ya, kita berteman? Aku nggak pernah menyesal mengenalmu."

Begitu juga denganku.

"Semenjak saat itu, rasanya ada yang berubah. Meski keadaan tetap sama, tapi karena kedatanganmu, setidaknya aku dapat menemukan, sosok yang selalu ada untuk mendengarkan, saat aku bercerita."

"Gantari Akara, terima kasih, ya? Sudah menyinari hari-hariku sebelumnya."

"Terima kasih, sudah datang ke dalam hidupku."

Aku tak membalasnya dengan prakata, selain menampakkan senyum simpul, sampai ia selesai bersuara.

"Semuanya ada di sini." Mahesa menunjuk buku di pangkuannya. "Tentangku, kamu, bahkan cerita kita."

"Apa kamu mau menerima, kalau aku mengatakan; kamu yang harus menyimpan buku ini? Bagaimana pun, kamu juga memberikannya waktu itu. Gantari ... di dalamnya lebih banyak cerita yang terdengar miris. Kebahagiaan sepertinya hanya seujung kuku, dan itu dimulai saat aku bertemu denganmu."

"Aku ingin membuat cerita di lembaran baru, setelah ini." lanjutnya.

Tanganku terulur, "Sini, aku pegang."

"Jangan dibuka di hadapanku, nanti aja kalau sudah di rumah," pesan lelaki itu, sembari menyodorkannya.

"Mahesa, setelah ini aku yakin. Kamu pasti akan menemukan kebahagiaan. Tetap bertahan, di sini. Ada yang masih kamu ingin, bukan?"

"Kalau pagi tadi tentang nilaiku yang membuat Ibu senang, apa tujuanku sudah berhasil?" Ia malah bertanya balik.

Aku mengangguk tanpa ragu, "Tentu! Ibu pasti bangga, anaknya mendapatkan nilai tertinggi. Kamu keren!"

"Tapi kenapa, Ibu nggak mau memelukku?"

Pertanyaan ini....

"Ibu bakalan peluk kamu, setelah ini. Mana ada, orang tua yang nggak mau mendekap anaknya sendiri? Ayah menyayangimu, Ibu juga pasti," ujarku.

"Kalau kamu?"

"Apa?"

"Kamu menyayangiku?"

Entah. Pertanyaannya itu berhasil membuat pipiku memanas. Saat itu juga, segera ku alihkan kontak mata dengannya, "Kamu nggak perlu menanyakan hal yang udah kamu ketahui jawabannya."

Mahesa terkekeh pelan, "Aku juga."

"Ya?"

"Menyayangimu."

Astaga. Meski hanya sepatah kata, tetapi hal itu membuat degup jantungku berdetak tak karuan. Ini efeknya lebih besar, daripada apa yang diucapkan oleh Arjuna dan Bayanaka.

"Jangan menghadap ke sana terus An, aku--"

"Apa?" Sebisa mungkin, aku menetralkan segalanya.

Mahesa berembus pelan, "Bantu aku berdiri."

"I-iya?" Meski ragu, tanganku memegangnya untuk membantu Mahesa berdiri.

Sudah sepenuhnya, namun tak begitu tegap, ia berkata dengan pelan, "Peluk aku."

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang