Suasana mendadak hening ketika Bu Utari, guru biologi menyembutkan nama teman-teman untuk membawa bukunya ke depan. Sudah berulang kali aku memeriksa tulisan sendiri, takut jika ada yang salah. Pasalnya, guru perempuan itu mengirimkan tugas yang mendadak semalam di grup kelas.
"An, benar nggak sih, ini." Birai menggeser bukunya padaku. "Nomor tiga jawabannya hipertonis, kan?"
"Gantari Akara?"
Belum sempat menjawab pertanyaan Birai. Tiba-tiba, giliran namaku yang dipanggil. Aku lantas beranjak bangun dari tempat duduk. Berdiri di depan, menjawab pertanyaan dari guru.
"Coba jawab soal nomor 10. Asam nukleat itu berperan sebagai apa saja?"
"Sebagai ... faktor genetika, koenzim, pembawa energi, dan pengatur biosintesis protein." Bu Utari mengangguk menanggapi jawabanku. Kemudian setelahnya, kembali pada tempat duduk.
Guru biologi itu kembali mengabsen nama-nama yang belum sempat disebut. Hingga terdengarlah panggilan nama Mahesa Naradipta, aku reflek menoleh ke belakang, melihat anak laki-laki itu agak terlonjak.
"Kenapa, Mahesa? Sini, kumpulkan soal semalam, lalu jawab pertanyaan saya," ujar Bu Utari, seraya mendelik pada barisan belakang.
Murid-murid lain terdengar desas-desus membicarakan Mahesa yang masih duduk terdiam di bangkunya. Tak berselang lama, ia menjawab, "Belum, Bu."
"Belum bagaimana, maksudnya? Kan sudah Ibu kasih tahu di grup kelas. Berarti, kamu sama sekali belum mengerjakan?" Lelaki itu mengangguk samar.
"Ngapain aja kamu? Saya kirim itu jam enam sore. Banyak waktu."
"Ponsel saya rusak."
"Memangnya nggak ada teman yang rumahnya berdekatan, terus memberi tahu. Nggak ada?"
Aku merasa tersindir mendengarnya. Bagaimana mau melakukan hal itu, ketika sewaktu sore kemarin saja Mahesa tiba-tiba mematikan sambungan telepon. Barusan ia mengatakan, ponselnya tiba-tiba rusak. Bagaimana, bisa?
"Maju. Berdiri di depan sampai pelajaran saya selesai."
Mahesa mendorong mejanya. Beranjak keluar dari tempat duduk. Kudengar, siswa-siswi lain samar-samar berbisik bersama teman sebangkunya. Termasuk Birai, yang mengangkat alis seolah bertanya padaku.
"Males banget, ngeliatin anak haram," celetuk Arjuna.
Tranggana menoleh, "Jangan gitu, Jun. Tapi benar, sih."
"Bukan saatnya buat mengejek orang." tegas Bayanaka.
Bu Utari mulai menjelaskan materi baru. Sambil menulis poin-poin dari pembahasan di papan tulis. Maka dari itu, pandangan kami semua tentu tertuju ke depan.
Semestinya fokus pada papan tulis, tapi lagi-lagi bola mataku berotasi, salah fokus pada Mahesa yang berdiri sembari merundukkan kepala, tanpa menyandarkan punggungnya di dinding.
Sampai pandangan kami bertemu, segera aku memalingkan wajah ke arah lain.
Dari kejadian kemarin, bertemu dengan Mahesa saat ini sering kali membuatku salah tingkah sendiri.Hingga bel istirahat berdering, suara geret meja terdengar seisi kelas. "An, gue duluan, ya? Sekalian ke toilet. Kebelet, nih!" Birai berlari keluar kelas duluan.
Bu Utari sudah keluar untuk pamit, aku sendiri, segera menyumpalkan earphone baru yang kubeli, beberapa hari yang lalu.
"Earphone lo baru ya, An? Katanya, yang kemarin paling awet?" tiba-tiba saja Bayanaka berkata seperti itu saat melewati mejaku. Ya, pasti beli yang baru. Daripada menggunakan bekas Arjuna kala itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
AUDIRE [✔]
Fanfiction"Sama seperti tujuanku kala itu. Ingin tetap di sisimu. Tapi sepertinya, Tuhan kabul doaku yang ingin pulang untuk tenang. " *** Sering dijadikan bulan-bulanan teman sekelas, dijauhkan, kerap mendapatkan omelan, dan selalu dibanding-bandingkan, mem...