33. Definisi Jatuh Hati

227 75 3
                                    

Karena kejadian barusan, jadilah sekarang teman-teman yang lain mengolok-oloki. Hanya karena dialog Arjuna ada yang dikoreksi, namanya Kalingga dan Tranggana jika tidak pandai mengejek itu bukan mereka.

Aku berusaha menutup telinga. Birai pun, sama jahilnya. Sedari tadi ia menggodaku, seolah adegan Pangeran dan Snowe White sewaktu latihan adalah sungguhan dan bukan sekadar latihan.

"Eh, udah dong, jangan diledekin terus. Nanti Gantari-nya, marah ... nggak mau jadi Snowe White," aku berdecak samar mendengar penuturan Hana. Memang, dari awal pun aku terkejut, bukan? Apa lagi, ketika Pak Rajen katakan Arjuna yang  menjadi si Pangeran.

"Pergilah bersamaku! Kau akan menjadi istriku!" seru Tranggana, meniru gaya ucapan Arjuna.

Tawa Kalingga memenuhi isi ruangan. Aku lantas bangkit dari tempat duduk, seraya menyandang ranselku. Namun tertahan, tatkala cekalan Birai pada lengan, juga suara seseorang.

"An, mau ke mana?" tanya Bayanaka.

Aku menepis pelan tangan Birai dari lengan, "Udah selesai, kan? Aku mau pulang."

"Iya? Mau bareng gue nggak?"

Abin menyahuti, "Pepet terus, Bay!"

"Jangan kasih kendor! Iya, nggak Kai?" Tranggana menepuk bahu Kalingga di sebelahnya. Temannya itu mengangguk, lagi-lagi mereka selalu menjadi kompor.

"Yoi."

"Dih, apaan? An mau pulang bareng gue," tambah Birai.

Hana berceletuk, "Duh, Gantari, beruntung deh, jadi kamu! Banyak yang suka," ucapannya hanya kubalas dengan senyum tipis. Lebih tepatnya, terpaksa.

"Jun, lo nggak nawarin diri buat antar An pulang?" tanya Abin.

Arjuna medesis, "Malas."

Setelah perdebatan yang lumayan panjang, akhirnya aku tetap pulang sendiri dan meminta dijemput oleh Bunda. Menolak Bayanaka dan Birai. Lagi-lagi Bayanaka! Aku sampai tidak paham, mengapa lelaki itu begitu baik.

Ia bahkan tak segan-segan menawariku pulang bersama beberapa kali karena arah pulang kita memang sama. Bayanaka itu ... definisi teman yang benar-benar pantas disebut sebagai teman.

Selain tidak terlalu banyak tingkah dari empat teman lainnya, Bayanaka juga tampak seseorang lelaki yang memiliki sikap lembut. Kala empat temannya mengejek sesama teman lainnya, meski ia ada, namun Bayanaka tak mau ikut campur.

Bayanaka Bimasena.

"An, nggak turun?"

Sampai Bunda memberhentikan motornya di depan rumah, aku bahkan tidak menyadari hal itu. Bunda membuka helm yang mengait di kepalanya. Kemudian aku turun dari atas  motor. Kalau saja Bunda tak sekalian dari ke rumah temannya, mungkin aku tak akan dijemput.

"Bunda sampai lupa, tumben kamu nggak sama Mahesa?"

Ah, Mahesa ya?

"Iya, soalnya ... dia ikut les, jadi nggak ikut latihan sama teman-teman."

Sambil masuk ke dalam rumah, aku dan Bunda masih berbincang, "Wah, rajin, rajin. Kamu mau nggak, Bunda daftarin?"

Mataku terbelalak saat itu juga, sembari menggeleng keras. Ikut les? Tidak. Sekolah depalan jam ditambah ekstrakurikuler saja sudah membuatku kewalahan, apa lagi ditambah PR dari guru killer.

Bisa.

Bisa, stress.

"Biasa aja dong, mukanya. Bunda kan, cuma tanya. Kalau nggak mau, ya nggak apa-apa. Bunda nggak maksa, apa yang mau kamu lakuin, Bunda dukung."

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang