23. Karang yang Meluruh

285 72 1
                                    

Mahesa tampak asyik berbincang dengan Hana, sampai-sampai aku terlupakan. Dua insan itu begitu nyambung ketika saling berlontar kata, meski sesekali kulihat Mahesa masih berlagak canggung.

"Serius kamu satu kelas sama Bayanaka? Wah, pasti sekarang jadi teman dekat, ya?" tanya Hana, antusias.

"Dilihat-lihat, kamu beda dari yang dulu. Maksudku, waktu itu tinggi kita kita hampir sama, lho! Sekarang, aku kelihatan pendek kalau berdiri di sebelah kamu."

Mahesa terkekeh samar, "Kamu juga, Na. Pertama kali lihat, aku sama sekali nggak kenal. Maaf ... nama kamu aja aku sempat lupa." Kudengar tawa Hana mengudara akan penuturan Mahesa.

"Tapi sikap kamu nggak ada yang berubah. Pendiam dan nggak banyak tingkah. Hesa, Hesa...." Hana memanggilnya tanpa dua huruf depan. Lagi-lagi aku menilik, melihat Mahesa yang tampak tersenyum karena gadis di sebelahnya itu.

"Ingat nggak kamu? Dulu aku sering banget diejek sama teman-teman. Gara-gara aku panggil kamu Hesa, kamu juga panggil aku Hana. Jadi, double H! Hesa dan Hana."

"Aku pikir, setelah kamu pindah sekolah, kita nggak ketemu lagi," ujar Mahesa.

Siapa kira, gadis yang hobi menabrak itu tenyata adalah seseorang yang pernah diceritakan oleh Mahesa. Ya, yang katanya; baik, cantik, disukai banyak orang. Rasanya tidak sabar, menunggu Birai yang sedang diperintahkan meletakkan buku-buku di ruang guru.

Sedari tadi semenjak bel pulang berdering, di lobi ini sepertinya hanya aku yang tak terlihat. Mahesa dan Hana benar-benar rak melirikku.

"Ah, aku juga nggak tahu, kalau kita bakal ketemu lagi. Takdir mungkin? Biar, kita sama-sama terus kayak dulu."

"Oh ya, kalau Adik kamu di kelas apa? Anak IPA atau IPS?" Hana bertanya banyak.

"Dia udah pulang, Na."

"Ya iya, kan udah bel. Aku nanya, dia di kelas apa," imbuhnya.

Hana bodoh atau gimana, sih? Masa ketika Mahesa berkata demikian gadis itu belum mengerti? Ck! Kenapa aku jadi menggerundel seperti ini.

Mahesa berembus pelan, "Maksudnya, Jayen udah nggak ada di dunia, Na."

"Eh? Maaf, aku nggak tahu." Mahesa mengangguk paham, Hana menatap ponsel di genggamannya, "He, aku duluan, ya? Besok, kita bisa ngobrol lebih banyak lagi. Mama-ku udah di depan, kamu masih ingat nggak? Mama yang selalu wakilin Ibu kamu. Nanti aku ceritain, kapan-kapan kalian harus ketemu lagi."

"Iya, hati-hati, Na," Mahesa ikut berdiri saat Hana beranjak sembari memegang tali ranselnya. Dengan lambaian tangan, perlahan Hana mulai menjauh dari Mahesa.

Aku mengedikkan bahu, Mahesa berbalik badan melihatku yang tak lagi memandang ke arahnya. "Pulang?"

"Kamu duluan aja sana, aku sama Birai." balasku sembari melipat kedua tangan di depan dada. Mahesa menghela napasnya, laki-laki itu mengangguk kemudian mengatakan pamit untuk duluan sebelum melenggang pergi. Lihat, bahkan Mahesa sama sekali tak bertanya apa-apa. Ia dengan entengnya pergi dari hadapanku bersama langkah cepatnya.

Selama melihat Mahesa yang semakin menjauh, selang beberapa detik kemudian Birai datang. Kami pulang bersama, ia mengantarkanku sampai rumah dengan selamat.

***

Seperti biasa yang dilakukannya setelah pulang sekolah adalah mengerjakan tugas yang diberikan. Mahesa meregangkan tubuhnya, duduk sekitar satu jam-an di meja belajar cukup membuat punggungnya terasa lelah.

Apa yang diinginkan Ibu, Mahesa akan melakulannya dengan sungguh-sungguh.
Mengulang materi yang hari ini diajarkan di sekolah, membaca buku sampai benar-benar paham dan masuk ke otak. Ia begitu ambis, sampai tak menyadari kondisi tubuhnya yang kian menurun.

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang