50. Dia Pemenangnya

219 69 2
                                    

"An, Mahesa masuk. Cuma dia telat, barusan gue lihat dia lari keliling lapangan."

Tanganku reflek meletakkan bolpoin sejenak, Birai yang kembali dari toilet tiba-tiba berkata demikian sembari duduk di sebelahku. Sudah pukul setengah sembilan, awalnya ku pikir Mahesa tidak sekolah, karena sudah telat satu pelajaran.

Rasanya aku ingin berdiri, menilik dari dalam kelas lewat jendela, "Kamu nggak salah lihat?"

Sembari melanjutkan mencatatnya Birai menggeleng, "Nggak! Seriusan, itu si Mahesa. Kasihan deh, dia dihukum sendirian, yang lain baru pada selesai, dia baru mulai. Lagian, aneh juga sih. Telat satu jam pelajaran. Kalau gue jadi Mahesa, mending nggak sekolah sekalian." jelasnya.

"Gantari, Birai, jangan mengobrol." Percakapan kami terhenti, saat guru perempuan di depan menegur.

Tangan kananku kembali bergerak di atas kertas, menuliskan materi dari papan tulis. Lagi-lagi pikiranku ke mana-mana, termasuk tentang anak lelaki itu. Dari kemarin siang, semenjak ia mengirimkan pesan dari nomor barunya, kami tidak lagi saling berkabar.

Terakhir, aku melihatnya keluar dari tempat les sore itu, bersama Bayanaka. Kemudian ikut ke rumah Arjuna, melihat lelaki itu yang katanya sedang sakit. Omong-omong tentang Arjuna, ia sudah kembali saat ini.

"Woy, mana tip-x gue? Balikin!" seruan dari Tranggana mengundang perhatian siswa-siswi yang lain. Termasuk guru yang sedang mengajar sekarang.

Arjuna dari tempat duduknya bersuara tak kalah keras, "Tip-x apaan? Udah habis!" Lelaki itu melemparkan benda berukuran kecil berwarna merah, pada Tranggana--hingga mengantuk kepalanya.

"Bang--"

"Tranggana, Arjuna, jangan ribut. Semuanya juga, yang tenang. Anteng. Ibu mau keluar sebentar," sebelum melangkah ke ambang pintu, Ibu guru mengalihkan pandangan pada si ketua kelas, "Abinawa, catat aja nama anak-anak yang berisik."

Abin hanya mengangguk, melayangkan tatapan tajam pada Tranggana yang barusan memulai.

Pandanganku kembali beralih pada buku tulis dan melanjutkan catatan. Samar-samar, telingaku yang masih berfungsi dengan baik mendengar suara derap sepatu yang semakin mendekat.

"Pinjam," tangan besar itu mengambil tip-x milikku yang tergeletak di atas meja begitu saja. Arjuna tidak segera pergi, ia menggunakan cairan itu pada bukunya, di mejaku.

Dari barisan Kalingga, suara seseorang terdengar, "Gue juga ada tip-x, Jun. Nggak kejauhan minjam ke depan?" tanya Bayanaka, membuat si lelaki di depanku menoleh.

"Sekalian kumpulin di meja." Arjuna menutup bukunya, menegakkan punggung--lalu meletakkan di meja guru.

Begitu juga denganku yang sudah selesai--hendak beranjak bangun, namun Arjuna menahan, "Sini, biar gue aja." Ia mengulurkan tangannya yang panjang.

Kusodorkan buku milikku yang bersampul warna cokelat, Arjuna menerimanya dengan segera.

"Nih sekalian!" Birai ikut menyodorkan bukunya pada lelaki itu, Arjuna tampak mendengkus seraya mengambilnya dengan kasar.

"Ck! Giliran sama An aja, nawarin, ngambil hati-hati. Sama gue gitu, awas aja sampul buku gue robek." Birai berdecak sebal, netranya menatap sengit Arjuna.

Kemudian gadis di sebelahku itu berkacak pinggang, mencondongkan tubuhnya pada Arjuna sembari memicingkan mata, "Lo suka sama teman gue?" tanyanya, dengan nada berbisik.

Aku hampir tersedak ludah sendiri. Kulayangkan tatapan tajam pada Birai, tetapi ia tak menghiraukannya.

Arjuna mengedikkan bahu sebagai tanggapan.

AUDIRE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang